Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), baru saja merilis kebijakan baru yang mengatur peralihan dari kartu SIM fisik ke eSIM. Kebijakan ini tercantum dalam sebuah Peraturan Menteri (Permen) yang bertujuan untuk menghadapi berbagai tantangan digital, termasuk penyalahgunaan layanan seluler dan maraknya kejahatan berbasis teknologi.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyatakan bahwa penerapan eSIM diyakini mampu memperkuat sistem keamanan telekomunikasi di Indonesia. Dengan mengadopsi teknologi digital yang lebih mutakhir, pemerintah berharap dapat mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan digital yang kerap memanfaatkan celah dari penggunaan SIM fisik konvensional.
Namun, kebijakan ini justru menuai sorotan dari para pakar keamanan siber. Salah satu yang angkat suara adalah Alfons Tanujaya, analis dari Vaksincom, yang menilai bahwa eSIM bukanlah solusi utama untuk mengatasi kejahatan seluler di Indonesia.
Tantangan Nyata dalam Implementasi eSIM
Menurut Alfons, kendala utama dari implementasi eSIM saat ini terletak pada keterbatasan perangkat yang mendukung teknologi tersebut. Ia menyoroti fakta bahwa eSIM saat ini hanya tersedia di perangkat kelas atas (high-end), yang notabene belum banyak digunakan oleh masyarakat luas di Indonesia.
Hal ini berarti penetrasi perangkat eSIM masih sangat rendah, sehingga efektivitas kebijakan ini dalam menekan kejahatan digital pun patut dipertanyakan. “Kalau targetnya ingin menekan kejahatan, tapi mayoritas masyarakat belum bisa menggunakan eSIM, maka dampaknya akan sangat terbatas,” ungkap Alfons.
Akar Masalahnya Bukan di SIM, Tapi Prosedur
Lebih lanjut, Alfons menjelaskan bahwa masalah inti dari tingginya kasus penyalahgunaan layanan seluler di Indonesia bukan pada jenis kartu SIM-nya, melainkan pada lemahnya disiplin dalam menjalankan prosedur pendaftaran pengguna layanan seluler.