Sebagai respons terhadap masalah ini, James Larkin dari University of Witwatersrand memimpin inisiatif untuk mengembangkan program yang diberi nama Rhisotope. Program ini melibatkan penyuntikan dua chip radiasi ke dalam cula badak di fasilitas rehabilitasi dan perawatan satwa Limpopo, khususnya badak di wilayah timur laut Afrika Selatan. Menurut Nithaya Chetty dari universitas yang sama, chip radioaktif yang disuntikkan memiliki efek toksik sehingga membuat cula tersebut tidak dapat dikonsumsi oleh manusia.
Metode penyuntikan chip radioaktif dilakukan saat badak sedang tertidur, sehingga proses ini tidak menimbulkan rasa sakit bagi hewan tersebut. Selain itu, dampak bahan radioaktif yang ditanamkan dalam jumlah yang sangat sedikit diupayakan tidak mengganggu kesehatan badak maupun lingkungan sekitarnya.
Data yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup Afrika Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2023, sebanyak 499 badak terbunuh meskipun berada di wilayah konservasi, mengalami peningkatan sebesar 11 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menandakan eskalasi serius dari ancaman perburuan liar terhadap badak, yang mendorong perlunya tindakan preventif yang lebih efektif.
Selain itu, sebuah artikel dari Science Alert menegaskan bahwa cula badak merupakan salah satu komoditas paling banyak dicari di dunia, bersaing dengan emas dan kokain. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan akan cula badak di pasar internasional, memperburuk permasalahan perdagangan gelap spesies terancam punah ini.