Untuk menyiasati pembatasan ekspor ini, laporan dari The Information mengungkapkan bahwa Nvidia telah memberitahu sejumlah klien utama mereka di China, seperti Alibaba Group, ByteDance (pemilik TikTok), dan Tencent Holdings. Mereka menyatakan bahwa Nvidia sedang mengembangkan chip AI baru yang dapat dipasarkan ke China tanpa melanggar peraturan ekspor AS. Strategi ini menunjukkan betapa pentingnya pasar China bagi kelangsungan bisnis Nvidia, bahkan di tengah tekanan geopolitik.
Namun, langkah keras Amerika justru mulai memperlihatkan efek sebaliknya. Meskipun China telah lama dibatasi dari mengakses teknologi chip canggih, negara tersebut tetap berhasil mengembangkan sistem AI tingkat tinggi seperti DeepSeek. Ironisnya, sistem tersebut diduga dibangun dengan menggunakan chip Nvidia yang sebenarnya telah dibatasi penjualannya ke China oleh pemerintah AS.
Anggota parlemen Bill Foster mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh Reuters pada Selasa (6/5/2025), Foster mengatakan bahwa ini bukan lagi sekadar ancaman masa depan. Ia mengingatkan bahwa Partai Komunis China atau bahkan militer Tiongkok mungkin sedang membangun sistem senjata atau AI canggih menggunakan chip-chip yang berhasil lolos dari pengawasan.
Namun di sisi lain, strategi Amerika justru menghadirkan risiko besar bagi perusahaan-perusahaan teknologinya sendiri. Blokade terhadap China ternyata tak menghentikan laju kemajuan teknologi negara tersebut. Sebaliknya, langkah ini malah mendorong Beijing untuk mempercepat program swasembada teknologinya.
Akibatnya, Nvidia kini menghadapi tantangan berat. Sejak awal tahun 2025, saham perusahaan tersebut telah anjlok hampir 25%, akibat tekanan yang terus meningkat dari kebijakan perdagangan luar negeri AS, khususnya yang diwariskan dari era Trump. Tanpa akses ke pasar besar seperti China, Nvidia bukan hanya kehilangan pendapatan dalam jumlah besar, tetapi juga kehilangan peluang untuk mempertahankan dominasi global di sektor chip AI.