Kondisi lain yang mendasari hukum menggabungkan shalat adalah adanya kesulitan atau halangan. Misalnya, jika seseorang dalam perjalanan mengalami kesulitan untuk menemukan tempat yang layak untuk shalat atau terjebak dalam kemacetan, maka ia diperbolehkan untuk menggabungkan waktu shalat. Hal ini mencerminkan sifat fleksibel dari syariat Islam, di mana terdapat ruang untuk memudahkan umat-Nya dalam menjalankan ibadah.
Sementara itu, ada dua cara untuk melakukan penggabungan shalat, yaitu secara menjamak takhir (mengakhirkan shalat ke waktu berikutnya) dan menjamak taqdim (mendahulukan shalat ke waktu sebelumnya). Penggabungan ini biasanya dilakukan pada saat waktu shalat dzuhur dan asar atau pada waktu maghrib dan isya. Dalam prakteknya, umumnya orang lebih memilih untuk menjamak taqdim, yaitu melaksanakan shalat dzuhur dan asar sekaligus sebelum waktu asar, atau maghrib dan isya sebelum waktu isya.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang yang bepergian diharuskan untuk menggabungkan shalat. Misalnya, jika seseorang bepergian tetapi masih memiliki cukup waktu untuk melaksanakan shalatnya tanpa kesulitan, maka lebih baik untuk melaksanakan shalat di waktunya masing-masing. Ini sejalan dengan prinsip menjaga keutamaan dalam beribadah.