Jawabannya, karena hasil pengamatan yang dilakukan dengan mata kejujuran dan dituangkan secara tulis ikhlas ke dalam sebuah tulisan sangat jauh berbeda dengan hasil survei yang diduga dipenuhi oleh motif-motif tertentu.
Sekilas dua hasil survei Populi Center yang dirilis pada April 2016 ini terlihat normal-normal saja (Baca di sini).
Tetapi, begitu mendapatkan sekuelnya yang dirilis pada Oktober 2016 (Baca di sini), baru tercium ada sesuatu dengan rilis survei Populi Center tersebut.
Dan, sesuatu tersebut lebih menyengat lagi jika memperhatikan peristiwa yang terjadi pada Juni 2016. (Baca di sini)
Perhatikan kronologisnya (rilis Populi Center pada bulan April, pemberitaan media pada bulan Juni, dan rilis Populi Center pada Oktober 2016.
Sepertinya ada kemiripan antara kedua rilis survei Populi Center tersebut mirip-mirip dengan rilis survei SMRC pada April 2017. Seolah ada sebuah alam pikiran yang dicoba untuk dijejalkan kepada publik.
Lebih parah lagi, ternyata ada lembaga survei yang bahkan tidak tahu perbedaan antara tingkat popularitas dengan tingkat elektabilitas seperti yang ditulis dalam “Sebelum Bilang Ridwan Kamil Kebakaran Jenggot, Baiknya PPS UIN UGD Pelajari Lagi Hasil Surveinya”.
Jika lembaga survei sudah sedemikin sulit dipercaya, media lebih lagi. Metrotvnews.com, bahkan,di siang hari bolong yang begitu terang-benderang tertangkap tangan lewat sebuah operasi tangkap basah telah melakukan tindakan penukaran atau pemutarbalikan “popularitas” menjadi “elektabilitas” dan begitu juga sebaliknya. Dan, dua barang bukti hasil OTT itu ada di sini dan juga di sini.
Lembaga survei boleh saja berdalih jika hasil survei yang dirilisnya berdasarkan pada jawaban responden saat survei digelar. Karenanya, lembaga survei selalu menyematkan kalimat “Jika pemilu bla bla bla dilaksanakan pada hari ini”.
Tidak ada yang salah dengan dalih tersebut. Karena memang hasil survei pada periode X pastinya berbeda dengan hasil survei pada periode Y. Demikian juga jika survei digelar pada periode Z.
Tapi, bagaimana dengan survei SMRC tentang Pilgub Jabar 2018 yang dirilis pada 27 September sampai 3 Oktober 2017 ini?
Dalam surrvei tersebut nama Anton Charliyan tidak keluar dalam katagori tingkat popularitas. Padahal sejak Juli 2017, baliho-baliho bersablonkan foto Anton Charliyan sudah memajang di sejumlah titik lokasi di Jabar. Terlebih lagi, baliho-baliho itu dipajang di titik-titik strategis yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
Apakah SMRC tidak menangkap adanya kemungkinan jika Anton akan menerjunkan dirinya dalam Pilgub Jabar 2018? Sehingga, mungkin, SMRC tidak memasukkan nama Anton Charlian ke dalam show card atau/atau drop card-nya.
Jika memang SMRC tidak memasukkan Anton Charliyan, apa alasannya? Sebab jika dibanding tokoh-tokoh lainnya yang muncul di dafrtar tingkat popularitas, tidak satu pun alasan bagi SMRC untuk tidak mencantumkan nama Anton Charliyan dalam show card atau drop card-
Lembaga survei memang sangat mudah digunakan sebagai kaki tangan dalam melancarkan aksi propaganda. Lembaga survei yang berkedokan nilai-nilai akademik membuat banyak orang, khususnya para pengamat, tidak memiliki keberanian untuk membantahnya. Mereka takut dituding anti-ilmu pengetahuan, tidak intelek, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan jika ada sekian banyak lembaga survei yang leluasa melancarkan aksi propaganda sesuai pemesannya.