Pada 1956, Castro dan sekelompok gerilyawan kembali ke Kuba dan memulai perang gerilya melawan rezim Batista. Para gerilyawan ini dijuluki "Barbudos" (yang berambut janggut) dan berhasil membangun dukungan rakyat di pedesaan. Pada tahun-tahun berikutnya, perang gerilya semakin menguat dan menarik perhatian dunia internasional.
Pada Januari 1959, gerilyawan Castro akhirnya merebut kekuasaan di Kuba dan Batista melarikan diri ke Republik Dominika. Fidel Castro menjadi perdana menteri dan mulai melakukan reformasi besar-besaran di Kuba, termasuk nasionalisasi industri, redistribusi tanah kepada petani, dan perbaikan akses kesehatan dan pendidikan.
Namun, hubungan antara Kuba dan Amerika Serikat memburuk dengan cepat. Pada 1961, kelompok anti-Castro yang didukung oleh CIA melancarkan invasi teluk babi yang gagal. Hal ini memperkuat hubungan Kuba dengan Uni Soviet, yang kemudian memicu Krisis Rudal Kuba pada 1962.
Meskipun tekanan dari blok Barat, Castro tetap teguh mempertahankan revolusi dan ideologinya. Kuba menjadi sekutu dekat Uni Soviet dan mengadopsi ideologi komunis. Meskipun adanya sanksi dan isolasi dari Amerika Serikat, Castro berhasil mempertahankan kekuasaannya dan menjadi simbol revolusi anti-imperialisme di seluruh dunia.