Celakanya, hasil Pileg yang diperoleh Nasdem jauh di bawah presidential threshold. Sementara parpol-parpol baru pada Pemilu 2019 nanti tidak mempunya hak untuk mengajukan capres-cawapresnya.
Pertanyaannya, mungkinkan Pipres 2019 tidak dapat digelar karena tidak ada satu pun parpol yang dapat memenuhi presidential threshold?
Ada yang menarik dengan artikel “KPK Harus Menyidik Parpol Yang Diduga Menerima Suap KTP-El agar MK Dapat Membubarkannya” yang dipublikasikan oleh Republika pada 10 Maret 2017. Artikel tersebut ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra dalam lawatannya ke Hong Kong.
Dalam artikelnya tersebut Guru Besar Universitas Indonesia itu
mengatakan, “Dakwaan tindak pidana korupsi KTP elektronik (KTP-el) yang kini mulai disidangkan, diduga bukan hanya melibatkan terdakwa mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Namun, juga melibatkan politikus terkemuka dari berbagai partai politik.”
“Mahkamah Konstitusi, berdasarkan pasal 68 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, berwenang untuk memutus perkara pembubaran parpol.Parpol bisa dibubarkan jika asas dan ideologi serta kegiatan2 parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.
Memang menjadi pertanyaan, jika partai terlibat korupsi, apakah parpol tersebut dapat dibubarkan MK dengan alasan perilakunya itu bertentangan dengan UUD 45?” tambah pemeran Panglima Cheng Ho ini,
Namun demikian pakar hukum tata negara ini pun mengungkapkan
keraguannya bila parpol dapat dibubarkan karena terbukti menerima aliran dana korupsi e-KTP. Pertama, munurut perspektif hukum pidana, terkait kejahatan korporasi, kalau pun suatu korporasi terbukti melakukan kejahatan, yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya.
Sementara, korporasi terkait tidak otomatis bubar. Begitu juga dengan parpol. Jika suatu parpol terbukti korupsi, maka hanya pimpinannya yang dijatuhi hukuman. Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar.
Kedua, menurut Pasal 68 UU MK dan Peraturan MK Nomor 12 Tahun 2014, hanya pemerintah yang memiliki legal standing untuk mengajukan perkara pembubaran parpol. Dari aturan tersebut mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini pun mengungkapkan keraguaannya,
“Apakah mungkin pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini akan mengambil inisiatif mengajukan permohonan pembubaran parpol, termasuk membubarkan partanya sendiri, PDIP?”
Keraguan mantan Menteri Sekretaris Negara pada periode pertama
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini cukup beralasan. Dari kacamata politik, sangat tidak masuk akal bila Presiden Jokowi mengajukan permohonan pembubaran parpol yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi e-KTP. Apalagi, salah satu parpol yang diduga terlibat adalah PDIP di mana Jokowi merupakan kadernya.
Dengan logika Jokowi tidak mungkin membubarkan partainya sendiri, termasuk PDIP, maka jelas kasus tipikor e-KTP ini, paling jauh, hanya menyasar ketua umum parpol, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Dari logika tersebut, maka pada Pilpres 2019 nanti parpol-parpol masihdapat mengajukan jagoan capres-cawapresnya. Dengan demikian, spekulasi tentang pembubaran parpol yang menerima aliran dana korupsi e-KTP terbantahkan.
Bantahan atas spekulasi tersebut semakin kuat jika merujuk pada surat dakwaan jaksa yang tidak menyebutkan keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebenarnya, menurut sejumlah media, PPATK sudah melaporkan hasil temuannya terkait aliran dana kasus e-KTP pada KPK.
Tidak disebutkannya laporan PPATK dalam surat dakwaan, untuk sementara waktu, dapat ditarik kesimpulan jika kasus korupsi e-KTP tidak akan memasuki wilayah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diduga dilakukan oleh parpol. Hal ini menumbulkan pertanyaan sejumlah pihak.