Prabowo Subianto sudah memastikan akan menggelar pertemuan dengan SBY. Hanya saja, menyangkut waktu dan tempat pertemuan tersebut, Prabowo belum bisa memastikannya.
"Ya, kami komunikasi bagus. Pasti ada pertemuan. Rencana pertemuan belum tahu," kata Prabowo di Gedung DPR/MPR, Kamis (2/3/2017) (Sumber: Kompas.com)
Ketua Umum Partai Gerindra yang yang sempat berbincang dengan SBY sebelum kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud tiba Kompleks Parlemen, Senayan itu meminta publik untuk bersabar.
Banyak pengamat yang menduga kalau pertemuan mantan Komandan Kopassus dengan Ketua Umum Partai Demokrat itu terkait kontestasi dalam Putaran Kedua Pilgub DKI 2017. Padahal, ada sejumlah isu strategis lainnya yang perlu dibahas kedua ketua umum parpol tersebut. Salah satunya adalah RUU Pemilu 2019.
Pada 2014 MK mengeluarkan keputusan tentang waktu pelaksanaan pemilu. Menurut MK, berdasarkan UUD, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden harus digelar secara serentak. Tetapi, karena soal keterbatasan waktu, maka keputusan MK itu baru bisa dilaksanakan mulai Pemilu 2019. Artinya, mulai 2019, Pileg dan Pilpres harus dilangsungkan bebarengan pada hari yang sama.
Karena digelar bebarengan, logikanya, secara otomatis Presidential Threshold (PT) tidak diberlakukan lagi. Gampangnya, bagaimana mungkin presidential threshold bisa dihitung kalau Pemilu Legislatif saja belum dilaksanakan.
Tetapi, pemerintah Jokowi tetap mengusulkan berlakunya PT pada RUU Pemilu yang diajukannya ke DPR RI. Usulan pemerintah Jokowi ini bisa dibilang sebagai manuver ngawur, sebab angka-angka yang digunakan untuk memeuhi persyaratan presidential threshold didapat dari hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Jadi, PT untuk Pilpres 2019 menggunakan perolehan suara pada Pileg 2014.
Dengan demikian, Paslon Capres-cawapres 2019 harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh suara 25% pada Pileg 2019 atau memiliki 20% kursi DPR RI.
Di Mana Ngawurnya Manuver Ugal-ugalan Pemerintah Jokowi Ini?
Pada saat pemilu belum digelar serentak saja, PT sudah banyak merugikan demikrasi. Kerusakan yang paling mencolok gegara persyaratan ini adalah munculnya politik dagang sapi antara petinggi parpol.
Ada dagang sapi sistem prabayar seperti di masa SBY. Di mana jatah menteri sudah dibagikan kesetiap parpolnya sebelum masa Pilpres 2009. Ada juga sistem pascabayar seperti yang dipraktekkan oleh Jokowi. Di era Jokowi, jatah menteri baru dibagikan setelah memenangi Pilpres 2014.
Soal dampak PT sudah diposting di sini “Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar” yang ditayangkan pada 1 Agustus 2013.
Dan ini yang paling ngawur dalam manuver Jokowi lewat RUU Pemilu yang diajukannya. Pertama, kalau persyaratan pencalonan capres-cawapres menggunakan hasil pileg pada pemilu sebelumnya, maka kalau semua parpol membubarkan diri akibatnya tidak ada paslon yang diajukan dalam Pilpres. Walaupun kemungkinannya kecil, tetapi kemungkinan bubarnya seluruh -parpol tetap ada.