Berita mengenai unjuk rasa ini cepat menyebar, menarik perhatian media lokal dan internasional. Pada saat itu, Jepang adalah mitra dagang yang sangat signifikan bagi Indonesia, dan banyak proyek infrastruktur seperti jalan dan pabrik dibangun dengan bantuan dana dari Jepang. Meskipun demikian, mahasiswa menyoroti masalah-masalah yang muncul, seperti dampak lingkungan yang merugikan dan ketidakadilan bagi para buruh lokal yang dipekerjakan di proyek-proyek tersebut.
Akibatnya, mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta, menuntut agar pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap pengaruh Jepang yang dianggap merugikan. Dalam aksi tersebut, mereka juga menyoroti masalah korupsi dan kekuasaan yang semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elit. Protes ini membara dengan semangat juang yang tinggi dan berlanjut hingga hari-hari berikutnya.
Namun, situasi mulai memanas ketika demonstrasi yang awalnya damai berujung pada kerusuhan. Ketika mahasiswa mempertanyakan kebijakan pemerintah yang lebih pro-Jepang, pihak keamanan membubarkan aksi tersebut dengan keras. Kerusuhan terjadi, dan suasana di Jakarta berubah menjadi kacau. Mahasiswa berusaha membakar mobil-mobil yang mereka anggap simbol dari investasi asing, termasuk Jepang. Kebakaran ini melambangkan kemarahan yang meluap-luap terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat.