Haiti, negara kecil di Karibia, mengalami salah satu periode paling dramatis dalam sejarah politiknya pada tahun 1991 dengan terjadinya kudeta terhadap Presiden Jean-Bertrand Aristide. Aristide, seorang mantan kalangan religius yang muncul sebagai simbol harapan bagi banyak rakyat Haiti, terpilih secara demokratis pada tahun 1990. Namun, hanya dalam waktu satu tahun setelah menjabat, kekuatannya diakhiri oleh kelompok militer yang menggulingkan pemerintahannya, menandai dimulainya spiral kekacauan politik yang berkepanjangan di negara tersebut.
Setelah terpilihnya Aristide, banyak yang optimis bahwa Haiti akan memasuki era baru yang lebih stabil dan demokratis. Aristide menjanjikan reformasi sosial dan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan yang merajalela dan ketidakadilan yang telah lama mengakar. Namun, harapan tersebut segera hancur ketika tentara Haiti, yang dipimpin oleh Duvalier dan kelompok-kelompok militan, mulai melakukan tindakan intimidasi terhadap pendukung Aristide. Dalam konteks seperti ini, ketegangan politik meningkat dengan drastis.
Pada September 1991, kudeta terjadi ketika Jenderal Raoul Cédras, bersama dengan pasukan militer Haiti, mengambil alih kekuasaan dan memaksa Aristide untuk meninggalkan Haiti. Kudeta ini menghadirkan kembali bayang-bayang pemerintahan otoriter yang sebelumnya berlangsung di bawah kepemimpinan dictator François "Papa Doc" Duvalier dan putranya Jean-Claude "Baby Doc" Duvalier. Penangkapan dan penahanan para pendukung Aristide menjadi hal yang biasa, dan banyak anggota partai politiknya, Lavalas, mengalami penganiayaan.