Di sisi lain, para penentang beranggapan bahwa penambahan masa jabatan presiden akan merusak tatanan demokrasi yang sudah dibangun selama ini. Indonesia, yang kuat dengan tradisi reformasi, seharusnya menjaga prinsip pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Mereka menekankan bahwa perpanjangan jabatan presiden dapat menciptakan peluang bagi otoritarianisme, yang jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang diemban oleh rakyat.
Amandemen konstitusi untuk memperpanjang jabatan presiden juga menghadapi aspek legalitas. Menurut konstitusi yang berlaku, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode. Oleh karena itu, setiap upaya untuk melakukan amandemen harus melibatkan proses yang demokratis dan transparan, dengan melibatkan partisipasi publik serta mempertimbangkan pandangan dari berbagai elemen masyarakat.
Isu ini semakin memanas ketika beberapa partai politik mulai menunjukkan dukungan terhadap wacana amandemen. Sikap dan langkah yang diambil oleh pemerintah dan partai-partai besar dapat mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Diskusi yang sehat dan konstruktif diperlukan agar niat untuk merubah konstitusi tidak terjebak dalam kepentingan sesaat atau ambisi pribadi.
Masyarakat Indonesia, yang telah mengalami berbagai perubahan dan reformasi dalam sejarahnya, sangat menyadari pentingnya momen ini. Mereka berharap bahwa apapun keputusan yang diambil, harus berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi yang menghormati hak-hak sipil, serta menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Wacana jabatan presiden yang berlanjut hingga tiga periode tidak hanya akan menentukan masa depan Jokowi, tetapi juga masa depan demokrasi Indonesia secara keseluruhan.