Invasi Irak pada tahun 2003 menjadi salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah kontemporer, terutama dalam konteks kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat, bersama dengan sekutu-sekutunya, melaksanakan invasi militer ke Irak dengan alasan bahwa pemerintahan Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal (WMD) yang dapat mengancam keamanan dunia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang mempertanyakan sejauh mana invasi ini benar-benar didorong oleh kepentingan untuk menciptakan demokrasi di Irak.
Sebelum invasi, Amerika Serikat mengklaim bahwa Irak telah melanggar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan merupakan ancaman bagi negara-negara tetangganya serta keamanan global. Meskipun berbagai laporan intelijen menjadi dasar bagi klaim ini, pasca-invasi, tidak ditemukan fakta yang mendukung adanya senjata pemusnah massal di negara tersebut. Hal ini menimbulkan keraguan tentang motivasi sebenarnya di balik invasi Irak.
Salah satu argumen yang sering dikemukakan oleh pemerintahan George W. Bush adalah bahwa invasi ini bertujuan untuk menumbangkan tirani dan mendirikan pemerintahan demokratis di Irak. Pada dasarnya, ide ini sejalan dengan doktrin yang dikenal sebagai 'demokrasi melalui kekuatan' yang dianut oleh beberapa kalangan politik di Amerika Serikat. Mereka meyakini bahwa negara-negara yang terjebak dalam tirani akan lebih aman dan stabil jika diberi kesempatan untuk menjalani transisi menuju demokrasi.