Namun, banyak kritikus mempertanyakan efektivitas pendekatan ini. Invasi Irak tidak hanya mengubah lanskap politik di negara tersebut, tetapi juga menciptakan kekacauan yang berkepanjangan. Setelah kejatuhan Saddam Hussein, Irak mengalami konflik sektarian yang hebat, yang menyebabkan ribuan kematian dan pengungsi. Upaya mempromosikan demokrasi justru terlihat berantakan dengan munculnya berbagai kelompok milisi dan teroris yang mengambil keuntungan dari ketidakstabilan.
Dukungan publik di Amerika Serikat terhadap invasi ini awalnya cukup tinggi, tetapi seiring dengan berlanjutnya peperangan dan kekerasan yang terjadi di Irak, pandangan tersebut mulai berubah. Banyak warga Amerika yang merasa bahwa invasi yang dilakukan di bawah naungan 'perang atas nama demokrasi' justru menghasilkan lebih banyak masalah daripada solusi. Beberapa terinspirasi untuk berperan aktif dalam gerakan anti-perang yang menuntut penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak.
Keterlibatan Amerika Serikat di Irak juga berkaitan erat dengan kepentingan ekonominya, terutama dalam hal minyak. Irak dikenal memiliki cadangan minyak yang melimpah, dan beberapa kritikus menilai bahwa kepentingan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pendorong utama dalam keputusan untuk melancarkan invasi. Meskipun tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa invasi ditujukan semata-mata untuk menguasai sumber daya minyak, kecurigaan ini semakin menguat ketika melihat bagaimana kebijakan luar negeri Amerika sering kali terhubung dengan kepentingan bisnis.