Sore, 22 Oktober 2017, media ramai menyoroti ditolaknya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memasuki wilayah Amerika Serikat oleh US Custom and Border Protection.
Gatot beserta rombongan berencana memenuhi undangan Panglima Angkatan Bersenjata AS. Jenderal Joseph F. Dunford untuk menghadiri Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization yang digelar pada 23-24 Oktober di Washington DC.
Karuan saja, peristiwa yang terbilang langka ini memunculkan sejumlah spekulasi, termasuk spekulasi yang digelontorkan oleh warganet.
Jika dicermati, ada 3 spekulasi yang paling mendominasi linimasa. Pertama, pandangan tentang keterkaitan Gatot Nurmantyo dengan sejumlah ormas yang dinilai radikal. Kedua, penolakan tersebut terkait dengan dirilisnya sejumlah dokumen tentang peristwa pasca-30 September 1965. Dan, ketiga, penangkalan ini dikaitkan dengan Pilpres 2019.
Spekulasi tersebut kemudian berkembang menjadi tudiuhan-tuduhan Gatot, terutama yang menyangkut kelompok Islam radikal. Bersamaan dengan itu, tudingan yang menyebut Gatot sebagai tokoh yang berada di balik aksi-aksi ormas radikal pun semakin menguat.
Sejak awal beredarnya pemberitaan mengenai dicegahnya Gatot Nurmantyo ke AS sudah terbilang teramat sangat ganjil. Bagaimana tidak ganjil kalau penangkalan yang dlakukan terhadap Gatot begitu dramatis.
Pada Sabtu 21 Oktober, Gatot beserta delegasinya siap berangkat dengan menggunakan maskapai Emirates. Tetapi, beberapa saat sebelum keberangkatan, datang pemberitahuan dari maskapai bahwa Panglima TNI beserta delegasi tidak boleh memasuki wilayah AS.
Hajatan besar yang digear oleh Angkatan Bersenjata AS itu pastinya sudah dimatangkan jauh hari sebelum hari pelaksanaan. Demikian juga dengan para undangan yang pastnya sudah melewati sekian tahap proses penyaringan.
Kemudian, undangan kepada TNI pun pastinya sudah dikirim beberapa hari sebelum 23 Oktober 2017. Karenanya sangat aneh jika pemberitahuan otoritas AS disampaikan kepada Gatot hanya beberapa saat sebelum pesawat take-off.
Memang benar, ada beberapa pemimpin militer Indonesia yang dicegah datang ke AS atas tuduhan pelanggaran HAM. Karena itu, para petinggi militer tersebut tidak diberi visa oeh AS.
Tetapi, sesuai informasi yang dipublikasikan media, Jenderal Gatot mendapatkan visa untuk mengunjungi wiayah AS. Dengan demikian, oleh otoritas AS, Gatot dinyatakan bersih dari tuduhan sebagai pelanggar HAM.
Kalau Gatot masih berhak mendapatkan visa dari AS, artinya jabatan Gatot sebagai Panglima TNI tidak bisa dikaitkan dengan dipublikasikannya 39 dokumen oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University. Dalam ketiga puuh dokumen tersebut diinformasikan jika Angkatan Bersenjata Repubik Indonesia (ABRI) disebut sebagai pelakunya.
Jika menyimak dokumen yang diunggah oleh nsarchive.gwu.edu, dokumen-dokumen terkait pembunuhan massal tersebut merupakan catatan-catatan para diplomat AS yang bertugas di Indonesia.