“Terdapat berbagai jenis dokumen dalam arsip Kedutaan Besar AS di Jakarta, mulai dari operasi sehari-hari Kedubes sampai pengamatan-pengamatan tentang politik, ekonomi, kebijakan asing dan urusan militer Indonesia, serta konflik antara AS dan Sukarno, antara AD dan PKI; Gerakan 30 September dan pembunuhan massal sesudahnya, dan konsolidasi rejim Suharto,” tulis nsarchive.gwu.edu.
Dari keteragan tersebut dapat disimpulkan jika sebagian dari dokumen yang dirilis oleh National Security Archive bekerja sama dengan National Declassification Center (NDC) tidak ada bedanya dengan dokumen yang dibocorkan oleh situs Wikileaks. Jadi, “levelnya” masih unconfirmed rumour.
Dengan levelnya ini, obrolan di warung kopi pun akan didokumentaskan. Obrolan di warkop itu dicatat oleh diplomat AS untuk kemudian diinformasikan ke Kedubes AS di Jakarta. Kemudian obrolan warkop itu dilaporan ke negaranya.
Kalau begitu, apa mungkin menangkalan terhadap Pangima TNI dengan hanya bermodalkan informasi yang sebagiannya berkelas unconfirmed rumour?
Dan, kalau pun ABRI dinyatakan bersalah sebagai pelaku pembantaian massal, seharusnya para pemimpin militer pada masa 1965-1966 dilarang masuk ke AS, meski pun dokumen rahasia miik NSA ini belum dirilis.
Bahkan, kunjungan tokoh sentral dalam operasi penumpasan PKI, Jenderal HM Soeharto, pada 1982 mendapat sambutan hangat dari Presiden Ronald Reigen.
Jadi, peristiwa pembantaian massa yang terjad pada 1965-1966 tidak menjadi alasan bagi otoritas AS untuk menolak petinggi militer Indonesia untuk masuk ke wilayahnya. Gampangnya, kalau Soeharto saja boleh masuk, apalagi Gatot.
Kemudian, apakah penolakan tersebut ada terkait rumor soal hubungan Gatot Nurmantyo dengan ormas Islam radikal?
Spekulasi ini paling mudah membantahnya. Sebab, kedekatan (kalau memang mau dianggap sebagai kedekatan) setidaknya sudah terjalin sejak 4 November 2016. Padahal, menurut Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto, dalam kapasitasnya sebagai, Pengima TNI, Gatot Nurmantyo, masih bisa mengunjungi AS pada Februari 2017.
Lagi pula, kedekatan hubungan Gatot dengan ormas Islam radikal hanyalah opini yang dinarasikan oleh pihak-pihak tertentu. Padahal, dalam berbagai kesempatan, Gatot kerap kali melontarkan kecaman terhadap ulama-ulama yang kerap melontarkan ujaran “keras”.
Di sisi lain, dengan safarinya ke sejumlah ulama dan pesantren, Gatot menunjukkan kedekatannya dengan ormas-ormas yang dianggap moderat.
Begitu pula dengan spekuasi yang menyebut penolakan tersebut terkait dengan dukungan AS kepada Gatot pada Pipres 2019. Katanya, dengan penolakan tersebut AS tengah membangun persepsi jika Gatot adalah musuh Amerika. Dengan begitu, Gatot akan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok anti-Amerika.
Dalam sejumlah rilis survei, nama Gatot Nurmantyo telah masuk bursa capres/cawapres untuk Pilpres 2019. Meski demikian tingkat popularitas dan elektablitas Gatot masih jauh di bawah Jokowi dan Prabowo.