Faktanya, hasil Pilpres 2014 yang diiselenggarakan sekitar tujuh bulan setelah survei Kompas dirilis, Jokowi meraih 53,15 persen suara dan Prabowo mendapat 46,85 persen suara.
Pasangan Prabowo-Hatta memang kalah dari pasangan Jokowi-JK. Namun demikian, lonjakan tingkat elektabilitas Prabowo lebih tinggi dari Jokowi-JK.
Jadi, kalau pun menggunakan acuan hasil survei, rendahnya tingkat elektabilitas belum tentu mengisyaratkan tidak adanya pelonjakan setelah memasuki masa kampanye. Bahkan setelah masa pendaftaran pasangan calon capres-cawapres.
Demikian juga dengan Gatot Nurmantyo. Meski elektabilitasnya saat ini disebut-sebut paling moncer hanya 15 persen, namun setelah masa pendaftaran pasangan capres-capres dapat saja terjadi pelonjakan.
Dengan demikian, jelas jika jadwal Pilpres 2019 sama sekali tidak merugikan Gatot Nurmantyo. Bahkan, sebaliknya. Gatot (juga) diuntungkan dengan jadwal Pilpres 2019.
Masalah bagi Gatot Nurmantyo bukan Jadwal Kampanye, Tetapi Media
Jadi, masalah yang dihadapi oleh Gatot Nurmantyo bukanlah pada jadwal Pilpres 2019, tetapi pada strateginya dalam membangun persepsi positif pemilih terhadap dirinya.
Dan, salah satu perangkat untuk melancarkan strategi ini adalah pembingkaian positif oleh media. Celakanya, bagi Gatot Nurmantyo, media tidak memihak kepadanya.
Terlebih lagi, situasi yang dihadapi Gatot Nurmantyo jauh lebih berat ketimbang Prabowo saat Pilpres 2019. Ketika itu, meski media online tidak berpihak kepada Ketua Umum Partai Gerindra ini, namun jumlah stasiun televisi yang mengampanyekannya jauh lebih banyak ketimbang yang “mengiklankan” Jokowi.
Saat ini, nyaris semua media, baik itu media cetak, media elektronik, dan media daring memihak kepada Jokowi. Media-media ini mengekspos segala rupa tentang Jokowi, mulai dari yang besar sampai yang remeh temeh. Sebaliknya, segala kelemahan seputar Jokowi berusaha ditutup-tutupi.
Karenanya tidak mengherankan bila berita tentang Jokowi yang membeli motor chopper lebih heboh ketimbang pemberitaan tentang gizi buruk di Asmat, Papua. Kalau pun menyoroti Asmat, media lebih memilih pemberitaan tentang rencana atau pemberangkatan mahasiswa ke Asmat.
Bertolak belakang dengan yang dibingkaikan pada Jokowi, ketidakberpihakan media terhadap Gatot Nurmantyo ini sangat terlihat jelas dalam serangkaian peristiwa. Contohnya, pada saat Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI memutasi sejumlah perwra tinggi TNI. media menyebut kebijakan mutasi tersebut sebagai bom waktu, bahkan sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah Jokowi.
Jika ketidakberpihakan media ini tidak dapat dilawan, maka akan sulit bagi Gatot untuk memenangi kompetisi Pilpres 2019. Sekadar mengingat-ingat, saat Pilpres 2014, jumlah media yang dianggap memiliki keberpihakan terhadap pasangan capres-cawapres nyaris berimbang.
Pertanyaannya, apakah sebelum jadwal Pilpres 2019 digulirkan pada pertengahan Agustus 2018, Gatot Nurmantyo sudah memilii strategi khusus yang bisa diandalkannya dalam menghadapi ketidakberpihakan media terhadap dirinya?