“Fenomena echo chamber dan filter bubble mempersempit diskursus demokratis. Akhirnya, publik makin terbelah dan sulit saling memahami,” kata Bayu Hidayat, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia.
Konten Emosional Lebih Diunggulkan
Platform media sosial secara algoritmik mempromosikan konten yang memicu emosi—baik kemarahan, kekaguman, maupun ketakutan. Pola ini secara tidak langsung mendukung polarisasi karena memperkuat reaksi emosional terhadap isu-isu sensitif, seperti agama dan politik.
Manipulasi Opini Lewat Bot dan Microtargeting
Lebih parah lagi, algoritma bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebar disinformasi dan manipulasi opini secara masif. Dengan bantuan bot, iklan politik bertarget, dan strategi konten yang sistematis, ruang digital bisa menjadi senjata politik yang ampuh—namun berbahaya.