Tidak jarang, praktik politik kekuasaan yang terjalin dengan agama menciptakan polarisasi di masyarakat. Ketika kepentingan politik lebih diutamakan dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral yang diusung oleh agama, konflik antarkelompok sering kali tidak terhindarkan. Di negara-negara multikultural, keberadaan berbagai agama menambah kerumitan yang ada. Di satu sisi, pejabat publik berusaha membangun kesatuan, tetapi di sisi lain, mereka sering kali terjebak dalam permainan kekuasaan yang melibatkan identitas agama sebagai senjata.
Tambahan lagi, ada situasi di mana pemimpin agama mencoba terlibat langsung dalam politik. Ini menciptakan jembatan yang berbahaya antara iman dan kepentingan politik. Dalam banyak kasus, keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin agama dalam ranah politik tidak selalu merefleksikan konsensus dari komunitas agama tersebut. Hal ini memicu friksi dan ketegangan, baik di dalam tubuh agama itu sendiri maupun antara berbagai komunitas keagamaan.
Dalam konteks ini, pentingnya etika dalam hubungan antara agama dan politik kekuasaan menjadi semakin jelas. Agama seharusnya berfungsi untuk mempromosikan keadilan, kesejahteraan, dan tata nilai yang positif dalam masyarakat. Namun, ketika nilai-nilai tersebut dikorbankan demi kepentingan politik, kehadiran agama dalam arena politik justru dapat memperparah ketidakadilan sosial.