Dengan logika apapun, penambahan dan pengurangan DPT di wilayah-wilayah tertentu sangat tidak masuk akal. Pertanyaannya, apakah sejak putaran pertama Pilgub DKI 2017 tidak ada pemilih pemula di Jaktim dan Jaksel yang terdata. Ataukah semenjak 15 Februari 2017, di kedua wilayah tersebut banyak terjadi kematian yang mengakibatkan berkurangnya jumlah DPT. Sebaliknya, di Jakbar, Jakpus, Jakut, serta Kepulauan Seribu terjadi lonjakan jumlah pemilih pemula dan penambahan DPT dari yang sebelumnya DPTb.
Tetapi, ada yang lebih aneh ketimbang kejanggalan penambahan-pengurangan DPT pada Pilgub DKI 2017. Keanehan tersebut adalah kejanggalan yang dpertontonkan dengan sedemikian vulgarnya. Ada apa dengan vulgarnya kejanggalan tersebut? Apakah ada skenario di balik skenario yang belum tercium publik?
Salah satu kejanggalan vulgar yang dipertontonkan kepada publik adalah surat Kapolda Metro Jaya kepada pengadilan untuk menunda sidang lanjutan Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. Bukankah Kapolda tidak perlu membuat surat yang kemudian tersebar luas lewat media. Kalau pun pertimbangan pengunduran sidang tersebut adalah situasi keamanan, bukankah Kapolda bisa membicarakannya dalam ruang tertutup tanpa diketahui pihak luar.
Apalagi kemudian jaksa penuntut pun mengundurkan jadwal persidangan menjadi sehari setelah hari pencoblosan. Artinya, pihak kepolisian sebenarnya bisa mengonsultasikan pengunduran sidang tersebut dengan pihak kejaksaan, di mana keduanya merupakan bagian dari eksekutif di bawah Presiden RI.