Entah siapa yang mengomandoinya. Tetapi, terlihat sangat begitu jelas jika sejak dua minggu terakhir ini serangan-serangan yang dibidikkan ke arah Gatot Nurmantyo semakin gencar. Ada serangan yang beramunisikan fakenews tentang mahar senilai 5 triliun yang ditawarkan Gatot kepada Prabowo Subianto. Ada serangan yang hanya bermodalkan pelintiran berita. Kata “mengungkap” yang ditulis Tempo dipelintir menjadi “terungkap”. Serangan lain dilakukan dengan mengekspos pernyataan tentang Gatot yang telah mendaftar sebagai capres meski belum memasuki masa pensiunnya. Padahal, dari sekian banyak elit Gerindra, hanya satu yang mengatakannya, yaitu Muhammad Syafii. Sementara sejumlah petinggi Gerindra lainnya membantahnya. Meski demikian pemberitaan tentang Gatot yang mendaftar capres lebih nyaring dan kencang ketimbang pemberitaan bantahannya. Masih belum cukup, serangan pun diiringi dengan mengambarkan Gatot sebagai sosok kontroversial yang kerap kali membuat gaduh. Tidak hanya itu, beragam opini para pengamat, akademisi, dan politisi yang mencoba mengerdilkan kekuatan Gatot pun semakin sering terlihat di deretan zona elit mesin pencari Google. Tidak ada yang salah dengan beragam serangan tersebut. Dan, juga tidak salah dengan lebih gencarnya serangan yang disasarkan ke arah Gatot ketimbang figur-figur capres lainnya. Karena bagaimana pun juga hanya Gatot satu-satunya capres yang berpeluang dapat mengalahkan Jokowi dalam Pilpres 2019. Ada beberapa faktor yang membuat majunya Gatot sebagai capres harus dijegal. Faktor pertama, dan faktor ini yang luput dari penglihatan para pengamat atau mungkin juga sengaja ditutup-tutupi. Gatot didukung oleh kelompok masyarakat non-partisan yang diklaim telah mencapai jutaan. Kelompok ini pastinya akan mengarahkan suaranya kepada partai yang memberikan golden ticket-nya kepada Gatot. Jika Gerindra menjadi parpol pengsusung Gatot, maka jutaan suara pendukung Gatot akan ditujukan pada Gerindra. Dengan tambahan suara itu, Gerindra dapat keluar sebagai pemenang Pileg 2019. Hal tersebut mirip dengan meningkatnya perolehan suara PDIP pada Pileg 2014. Ketika itu kelompok masyarakat pendukung Jokowi yang umumnya non-partisan menyumbang banyak raihan suara PDIP. Jadi, salah besar jika ada pengamat yang mengatakan jika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tak maju sebagai capres di Pilpres 2019 maka akan merugikan Partai Gerindra. Seperti opini yang disampaikan oleh peneliyi International Studies (CSIS) Arya Fernandes. "Sejauh ini bila PS (Prabowo Subianto) enggak maju, belum ada calon yang mampu memberikan keuntungan bagi Gerindra," ujar Arya saat dihubungi pada 10 April 2018. "Enggak akan dapat efek bila PS endorse (ajukan) calon lain. Bisa turun suara Gerindra," tegasnya. Opinion senada pun dilontarkan oleh Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). "Belum ada calon lain yang sekuat Prabowo," ujar Sebastian kepada Tribunnews.com, pada 10 pada 2018. Sebastian pun menambahkan. "Jika bukan Prabowo bisa saja kader Gerindra tidak solid dan itu berdampak buruk bagi Partai.” Kadar Gerindra memang dikenal loyal dan militan dalam pendukung ketua umumnya, Prabowo. Dengan dua karakternya itu, kader Gerindra dipastikan akan pendukung apapun keputusan yang diambil Prabowo. Termasuk jika Prabowo memutuskan menjadi king maker bagi Gatot Nurmantyo. "Kalau kau percaya sama saya, percayalah sama saya. Yakinlah. Saya tidak akan berbuat yang mencelakakan merah putih," tegas Prabowo dalam pidatonya. Pernyataan Prabowo itu terlihat dalam video yang kemudian di-share di akun twitter Partai Gerindra 7 Maret 2018. Faktor kedua adalah potensi menguatnya tren positif tingkat elektabilitas Gatot. Menguatnya tren ini pastinya dipengaruhi oleh semakin meluasnya dukungan masyarakat kepada Gatot. Hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya posko-posko relawan khususnya Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN) yang telah berdiri di 28 provinsi. Meskipun relawan pendukung Gatot ini baru dibentuk pada 1 Januari 2018. Menariknya lagi, RSPN baru bergerak ala kadarnya. Dan, karena satu dan lain hal, belum terlihat ada gerakan masif yang dilancarkan RSPN sebagaimana relawan Jokowi pada 2014 atau relawan Ahok yang bergerak masif sejak 2015. Sudah menjadi pengetahuan umum jika kandidat dengan modal awal elektabilitas tertinggi belum tentu dapat memenangi pemilu. Sekalipun kandidat tersebut maju sebagai calon petahana. Dalam Pilgub DKI 2012, Foke dengan elektabilitas yang tertinggi dengan status cagub petahana dapat dikalahkan oleh Jokowi yang datang dengan modal elektabilitas di bawah 10 persen. Setahun setelahnya, Ganjar Prabowo yang datang ke Pjlgub Jateng 2013 dengan modal Jokowi’s effect mampu mengalahkan sang petahana Bibit Waluyo. Bahkan, dengan hanya mengawalinya dari nol, Anies Baswedan yang hanya diusung dua parpol mampu menjungkalkan Ahok, cagub petahana yang berelektabilitas di atas 50 persen serta mendapat dukungan penuh dari rezim penguasa. Contoh lainnya. Dalam Pilpres 2014, elektabilitas Prabowo yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak mendapat pesaing mampu disalip Jokowi hanya dalam hitungan bulan. Melihat geliat dukungan akar rumput, Gatot memiliki peluang untuk menjadi Jokowi bagi Foke, menjadi Ganjar bagi Bibit, menjadi Anies bagi Ahok, dan menjadi Jokowi bagi Jokowi. Faktor ketiga adalah status Gatot sebagai non-partisan. Dengan statusnya itu, mantan Panglima TNI ini menjadi lebih nyaman bagi parpol beserta calegnya. Caleg Gerindra serta caleg pengusung dan pendukung Gatot pastinya tidak akan rikuh saat disosialisasikan ataupun dikampanyekan oleh caleg parpol. Hal sebaliknya jika parpol pengusung atau pendukung caleg yang berasal atau kader suatu parpol. Nasdem yang mengusung Jokowi, misalnya, pastinya terlihat sangat janggal ketika calegnya mengampanyekan Jokowi yang dikenal luas sebagai kader PDIP. Karenanya, dalam pemilu serentak yang masih menerapkan presidential threshold ini, sosok “independen” seperti Gatot sudah barang tentu lebih seksi ketimbang Jokowi. Tetapi, dengan segala kelebihan yang dimilikinya itu, Gatot yang mendekat pada kutub kontra-Jokowi sekaligus berpeluang besar dicapreskan oleh Gerindra menjadi sosok yang mengancam bagi kutub pro-Jokowi. Konsekuensinya, pintu masuk pencapresan bagi Gatot harus ditutup serapat mungkin. Dan, demi memenangkan Jokowi, dengan cara apapun Gatot harus disingkirkan dari perhelatan Pilpres 2019. Dan, saat ini pintu pencapresan Gatot lewat Gerindra sedang didorong-dorong untuk ditutup. Sebagai kaum alit, rakyat hanya menonton pertandingan para elit. Sebab sampai 10 Augustus 2018, bola masih berada di kaki para elit negeri ini.