Emosi sejatinya adalah bagian dari mekanisme tubuh untuk merespons situasi. Emosi perlu dirasakan dan dilewati, bukan dihindari. Namun, saat kita menghentikan emosi anak terlalu cepat dengan kalimat seperti “gak apa-apa kok”, kita tanpa sadar menghambat kemampuan anak untuk mengenali, memberi nama, dan mengatur emosinya. Bukannya membangun ketangguhan, kita justru menanamkan penghindaran.
4. Menciptakan Cinta yang Bersyarat
Frasa seperti “berhenti menangis” atau “jangan takut” sebenarnya bisa membentuk pemahaman bahwa mereka harus menyembunyikan emosi agar bisa diterima. Ketika cinta dan perhatian hanya muncul saat anak ‘baik-baik saja’, maka ia akan merasa bahwa cinta bersifat bersyarat. Akibatnya, rasa aman secara emosional pun mulai tergerus, dan ini sangat berbahaya bagi perkembangan mental jangka panjang.
5. Mengubah Cara Anak Merespons Stres
Sistem saraf anak berkembang berdasarkan pengalaman yang berulang. Jika anak sering mengalami penolakan atau pengabaian saat mereka merasa emosional, maka tubuh mereka akan belajar bahwa tidak aman mengekspresikan perasaan. Dalam jangka panjang, ini dapat membentuk ulang respons stres mereka, membuat anak lebih rentan terhadap gangguan kepercayaan, kecemasan, dan kesulitan dalam mengatur emosi.
Frasa Alternatif yang Lebih Sehat dan Membangun
Alih-alih mengatakan “gak apa-apa kok”, Reem Raouda menyarankan untuk menggunakan kalimat yang memvalidasi perasaan anak dan membangun kepercayaan diri emosional mereka. Berikut beberapa contoh frasa yang lebih mendukung:
-
“Aku percaya padamu.”
Memberikan rasa aman bahwa perasaan dan reaksi mereka bisa diterima dan dimengerti.
-
“Perasaanmu masuk akal.”
Membantu anak memahami bahwa apa yang mereka rasakan adalah normal dan wajar.
-
“Aku di sini bersamamu.”
Menyampaikan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi emosi tersebut.
-
“Kamu tidak harus baik-baik saja sekarang.”
Mengizinkan anak untuk merasakan sepenuhnya apa yang terjadi tanpa ditekan untuk segera tenang.
-
“Aku melihat apa yang terjadi. Bagaimana perasaanmu?”
Mengundang anak untuk berbicara, memproses, dan menamai emosinya.