Polemik tentang kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri terus bergulir, menimbulkan dampak yang cukup signifikan. Beberapa calon mahasiswa (camaba) dilaporkan mengundurkan diri dari pendaftaran karena tak sanggup membayar UKT yang semakin tinggi. Salah satu kasus yang mencuat adalah Naffa Zahra Muthmainnah, yang harus menghadapi dilema tersebut, sekaligus mencerminkan situasi yang dialami oleh banyak calon mahasiswa.
Kenaikan UKT memang bukan hal yang baru dalam lingkungan perguruan tinggi. Namun, kenaikan yang terus menerus tanpa adanya penyesuaian dengan kemampuan ekonomi masyarakat, dapat menjadi beban yang sangat berat bagi calon mahasiswa, terutama bagi mereka dari keluarga kurang mampu. Dalam beberapa tahun terakhir, segelintir perguruan tinggi negeri di Indonesia telah menerapkan kenaikan UKT yang cukup signifikan, yang memberi tekanan finansial kepada banyak calon mahasiswa.
Naffa Zahra Muthmainnah, salah satu calon mahasiswa yang mengundurkan diri, mengungkapkan bahwa kenaikan UKT ini telah memberikan dampak yang signifikan bagi dirinya. "Saya sangat berkeinginan untuk kuliah di perguruan tinggi negeri, tetapi kenaikan UKT yang begitu drastis membuat saya tidak bisa melanjutkan rencana tersebut. Keadaan ekonomi keluarga saya tidak memungkinkan untuk membayar biaya kuliah yang semakin tinggi," ungkap Naffa.
Tidak hanya Naffa, namun banyak calon mahasiswa lainnya juga mengalami situasi serupa. Dilema antara melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri atau mencari alternatif lainnya menjadi pertimbangan yang sangat sulit bagi mereka. Dampak dari kenaikan UKT ini juga membuka perdebatan tentang akses pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.