Sistem sekolah seringkali gagal memberdayakan saksi untuk berbicara. Kurangnya saluran pelaporan yang aman, anonim, dan efektif membuat siswa enggan melaporkan apa yang mereka lihat. Jika seorang siswa yang melapor justru mendapat perlakuan buruk atau tidak ada tindakan nyata dari pihak sekolah, hal itu akan mengirimkan pesan bahwa melaporkan perundungan adalah sia-sia. Dengan demikian, saksi secara tidak langsung turut berkontribusi pada kelanggengan perundungan.
Penanganan yang Tidak Tepat dan Kurangnya Komunikasi
Banyak sekolah sudah punya kebijakan anti-perundungan, tetapi penanganan yang tidak tepat sering kali menjadi masalah. Beberapa sekolah mungkin hanya memberikan hukuman ringan, seperti skorsing, tanpa memberikan rehabilitasi atau bimbingan bagi pelaku. Hukuman tanpa edukasi tidak akan mengubah perilaku dan hanya membuat pelaku merasa dendam.
Selain itu, seringkali tidak ada komunikasi yang efektif antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa. Orang tua mungkin tidak tahu bahwa anaknya menjadi korban atau pelaku, dan jika tahu, mereka bisa jadi tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari sekolah. Kurangnya kolaborasi ini membuat penanganan menjadi parsial dan tidak komprehensif.
Media Sosial dan Perundungan Siber
Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, telah membawa perundungan ke level yang baru dan lebih sulit dikendalikan. Perundungan siber (cyberbullying) memungkinkan pelaku untuk bersembunyi di balik anonimitas dan menyerang korban kapan saja dan di mana saja. Pesan-pesan kebencian, foto yang memalukan, atau rumor palsu bisa menyebar dengan sangat cepat dan masif, menyebabkan kerusakan reputasi dan trauma yang lebih besar.