Selain itu, ada faktor psikologis yang berperan dalam ketidakmampuan kita untuk menahan napas. Saat kita merasa tertekan atau cemas, terkadang kita merasa ingin menahan napas sebagai respons terhadap situasi tersebut. Namun, struktur otak kita secara tradisional telah berevolusi untuk memprioritaskan kebutuhan oksigen dan menghindari situasi yang dapat membahayakan hidup. Dengan demikian, saat kadar karbon dioksida meningkat dan kita mulai merasakan ketidaknyamanan, dorongan untuk bernapas menjadi lebih kuat.
Dalam konteks fisiologis, otot-otot pernapasan juga memainkan peran penting. Ketika kita menahan napas, otot-otot di sekitar diafragma dan dada akan berkontraksi sehingga memperlambat aliran napas. Namun, pada titik tertentu, otot ini akan mengalami kelelahan. Ketika kelelahan ini terjadi, tubuh kita akan merespon dengan refleks untuk melepaskan napas dan mengambil napas baru, menjadikannya hampir mustahil untuk menahan napas sampai mati.
Hal lain yang patut dicatat adalah bahwa kemampuan menahan napas berbeda-beda untuk setiap individu. Atlet atau penyelam, misalnya, sering kali dapat menahan napas jauh lebih lama dibandingkan orang biasa. Ini disebabkan mereka telah melatih diri untuk meningkatkan kapasitas paru-paru dan mengatur kondisi fisik mereka. Namun, meski mampu menahan napas dalam waktu yang lebih lama, mereka tetap tidak dapat melakukannya sampai mati karena mekanisme tubuh yang ada.