Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, agama, dan bahasa. Dengan lebih dari 700 bahasa yang berbeda, sejarah dan tradisi masyarakatnya sangat erat terkait dengan rekomendasi nama, istilah, dan ungkapan yang sering mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kata yang sering digunakan untuk merujuk pada tindakan pencurian adalah "garong". Istilah ini telah akrab di telinga masyarakat, tetapi banyak yang tidak menyadari asal-usul serta makna mendalam di balik kata tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "garong" diartikan sebagai "perampok; kawanan pencuri (penyamun dan sebagainya)." Istilah tersebut mulai popular sejak tahun 1945, di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, situasi yang tidak stabil memberikan peluang bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan untuk melakukan berbagai tindakan kriminal, salah satunya adalah pencurian.
Kelompok yang melakukan pencurian di tengah ketidakpastian politik ini dikenal sebagai kelompok garong. Sastrawan ternama, Pramoedya Ananta Toer, yang pada waktu itu menjadi tentara di Cikampek, juga terlibat dalam pengamatan terhadap kelompok ini. Dalam salah satu tulisannya, Pram menceritakan bagaimana ia pertama kali mendengar istilah "garong". Ia lantas menanyakan arti dari istilah tersebut dan mendapat jawaban yang cukup mengejutkan. Ternyata, "garong" merupakan singkatan dari "gabungan romusha ngamuk."
Romusha, yang artinya tenaga kerja paksa, merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada orang-orang yang dipaksa bekerja oleh pihak Jepang selama masa pendudukan di Indonesia. Dalam kondisi yang penuh tekanan dan penderitaan, para romusha tersebut merasa terpaksa melakukan perampokan untuk bertahan hidup. Mereka bergabung dalam kelompok-kelompok dan menyebut diri mereka sebagai "garong." Melalui penamaan ini, Pram memperlihatkan bagaimana kata itu muncul dari konteks sosial yang sangat spesifik yaitu akibat kekosongan kekuasaan.