Tampang

Dugaan Asusila Guru Terhadap Murid di Gorontalo, Dunia pendidikan sedang Darurat Kekerasan Seksual

28 Sep 2024 19:07 wib. 27
0 0
Dugaan Asusila Guru Terhadap Murid di Gorontalo, Dunia pendidikan sedang Darurat Kekerasan Seksual
Sumber foto: Google

Dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya di sekolah menengah agama di Gorontalo mencerminkan bahwa dunia pendidikan sedang darurat kekerasan seksual. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebutnya sebagai “darurat“ karena tindakan kekerasan seksual anak di satuan pendidikan terus berulang dengan tren meningkat. Hal ini diperparah dengan sanksi terhadap pelaku yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.

“Ini sudah darurat. Antisipasi pencegahan dan penanganannya harus secara luar biasa karena ini sudah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bagi kami,” kata Satriwan.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sedikitnya 101 korban kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan pada Januari hingga Agustus 2024. Adapun sepanjang 2023, jumlahnya tercatat dua kali lipat, yakni 202 anak. 

Tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), disebabkan oleh relasi kuasa antara guru dan murid yang tidak seimbang ditambah lemahnya pengawasan.

Kementerian Agama yang menaungi satuan pendidikan agama telah menjatuhkan sanksi berat kepada guru tersebut, tanpa merinci bentuk sanksi yang diberikan. Hingga Jumat (27/09), belum ada kuasa hukum yang mewakili tersangka.

Seorang guru berinisial DH di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, diduga melakukan tindak asusila kepada seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas 12. Kejadian itu terungkap usai beredarnya video yang merekam dugaan asusila oknum guru berusia 57 tahun tersebut terhadap korban.

Paman korban, Karim Toiti, mengeklaim apa yang dialami keponakannya adalah murni pelecehan seksual terhadap anak di bawa umur. Dia menuduh oknum guru itu menggunakan relasi kuasa untuk memanipulasi sehingga keponakannya merasa tertekan dan tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya terjadi dugaan kekerasan seksual.

Berdasarkan pengakuan korban kepadanya, Karim menerangkan bahwa awalnya pelaku mulai menyentuh salah satu bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga menangis kala itu.

“Peristiwa itu sempat diceritakan kepada temannya, dan ponakan saya menangis karena dilakukan seperti itu,” kata Karim.

Akibat peristiwa itu, kata Karim, keponakannya sempat trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru di sekolah itu. Meski tidak ada ancaman dari pelaku ke korban, klaim Karim, modus asmara terus dimanfaatkan pelaku untuk memanipulasi korban.

Karim kemudian menambahkan bahwa dirinya kecewa dengan pihak sekolah yang tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap guru dan siswanya. Dia juga memprotes dengan keras pandangan sekolah yang tidak memiliki perspektif korban akibat peristiwa ini, keponakannya dikeluarkan dari sekolah.

Menurutnya, sekolah tidak melihat secara mendalam kasus ini dan hanya memandang bahwa ponakannya adalah pihak yang juga turut bersalah.

“Sekolah hanya mengacu kepada aturan tata tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus dikeluarkan. Padahal ini adalah kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Hak ponakan saya harus dilindungi,” jelas Karim.

Karim menduga sikap sekolah yang mengeluarkan keponakannya sebagai upaya untuk melepas tanggung jawab.

<123>

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.