Per tahun Rp 87 juta pajak kita," lanjut dia. Namun, menurut dia, bukan kewajiban ahli waris untuk membayar, melainkan pihak sekolah karena sejak awal mereka menyewa sebagai sarana pendidikan. "Iya itu kan jadi beban kita, sedangkan itu tanah dipakai mereka untuk fasilitas negara. Maksudnya enggak malu gitu kita yang bayarin," kata Reyvaldi. Keduanya belah pihak sempat melakukan mediasi. Namun, hingga saat ini belum ada titik temunya.
"Kita sudah diundang dari pihak badan aset, dari pihak provinsi, dari pihak Kejati. Diundang untuk mediasi perdamaian," kata dia. "Kita masih ada surat undangannya, tapi sampai saat ini belum ada lagi panggilan dia menyangkut hal itu," sambung dia.
Oleh karena itu, Reyvaldi berharap pihak sekolah bisa memberikan solusi terbaik, yaitu dengan menggantikan uang pajak yang sudah dikeluarkan oleh ahli waris sebelumnya. "Ahli waris itu cuma minta apa yang menjadi keinginanya ya dikabulkan. Kita sudah bayarkan apa yang menjadi bukan hak kita sebenarnya. Sejauh ini kita menanggung dari pada beban," ujar dia.
Sementara itu, pihak sekolah hingga saat ini belum bisa dihubungi untuk mengonfirmasikan terkait persoalan tersebut. Penyegelan ini tentu saja berdampak pada proses pendidikan di SMAN 8 Tangsel. Para siswa dan siswi menjadi terganggu dengan situasi ini, karena akses mereka ke fasilitas pendidikan menjadi terhambat. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yang seharusnya diberikan oleh sekolah kepada siswa. Oleh karena itu, penyelesaian konflik antara pihak sekolah dan ahli waris menjadi sangat penting demi kelancaran proses pendidikan di SMAN 8 Tangsel.