Dampak dari utang jatuh tempo Indonesia yang terus meningkat tidak bisa dianggap remeh. Beban pembayaran bunga dan pokok utang yang semakin besar dapat mengganggu kestabilan perekonomian. Selain itu, terlalu bergantung pada utang juga dapat membuat perekonomian menjadi rentan terhadap perkembangan eksternal yang tidak terduga.
Sri Mulyani menuturkan jika surat utang RI tidak jatuh tempo, maka surat utang yang dipegang tersebut akan revolving. Namun, jika kondisi stabilitas ini terganggu, pemegang surat utang RI bisa melepasnya dan kabur dari RI. Menkeu mengingatkan, bahwa tingginya pembayaran jatuh tempo utang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Saat itu Indonesia membutuhkan hampir Rp1.000 triliun tambahan belanja, saat penerimaan negara turun 19% karena aktivitas ekonomi berhenti.
Menkeu juga menegaskan, hal ini karena biaya pandemi dan ini merupakan bagian dari skema burden sharing. "Itu biaya pandemi berdasarkan agreement antara kita dan BI untuk lakukan burden sharing agar neraca BI baik, fiskalnya tetap kredibel, politik juga acceptable, kita sepakati instrumen itu," tegasnya.
Untuk mengatasi masalah utang jatuh tempo Indonesia yang terus meningkat, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat. Peningkatan pendapatan negara melalui reformasi pajak dan pengelolaan keuangan yang lebih efektif adalah beberapa solusi yang dapat dilakukan. Selain itu, manajemen utang yang lebih hati-hati dan transparan perlu dilakukan untuk memastikan bahwa utang tersebut benar-benar dapat digunakan untuk investasi yang produktif dan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.