Danang juga menekankan pentingnya melihat relasi antara produsen musik dan penikmat musik sebagai bentuk simbiosis mutualisme. Sektor horeka, misalnya, selain dianggap sebagai penikmat musik, juga berperan sebagai kanal promosi yang membantu memperluas jangkauan karya musik ke publik. Oleh karena itu, regulasi seharusnya tidak hanya berbicara tentang pungutan, melainkan juga mengakomodasi aspek promosi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Ia menyoroti persoalan yang selama ini menimbulkan kebingungan, yakni mengenai batasan pemungutan royalti. Banyak pelaku usaha belum memahami secara pasti apakah pemutaran musik di area komersial dalam bentuk dekorasi atau ambience harus dikenakan royalti, atau hanya berlaku pada penampilan musik secara langsung oleh musisi. Situasi ini diperumit lagi oleh perbedaan konteks penampilan musisi, apakah mereka musisi rumahan, pengisi acara kafe, atau musisi profesional yang sudah memiliki album dan karya yang dirilis ke pasaran. Menurut Danang, penarikan dana harus jelas dan proporsional agar tidak menimbulkan rasa ketidakadilan.
Selain itu, isu besar lainnya adalah mekanisme pembagian royalti kepada para produsen musik, pencipta, maupun penyanyi. Menurutnya, distribusi royalti yang adil merupakan kunci untuk memastikan sistem yang berjalan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral. Tanpa kejelasan distribusi, potensi konflik dan ketidakpercayaan akan semakin besar.