Peran ayah dalam proses kelahiran dan perawatan anak pascapersalinan semakin mendapat perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Riset terbaru menunjukkan bahwa tren pemberian cuti ayah (paternity leave) mulai berkembang di Tanah Air. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Meski banyak perusahaan mulai mengakui pentingnya keterlibatan ayah di awal kehidupan anak, praktik pemberian cuti ini masih sangat terbatas.
Masa setelah persalinan merupakan periode krusial, baik secara fisik maupun emosional, terutama bagi ibu. Dukungan emosional, psikologis, dan logistik dari pasangan sangat dibutuhkan. Sayangnya, kebijakan perusahaan yang memungkinkan ayah turut serta dalam fase ini masih sangat terbatas. Padahal, kehadiran ayah bukan hanya membantu ibu pulih lebih cepat, tetapi juga membangun ikatan emosional awal antara ayah dan bayi.
Payung Hukum Cuti Ayah di Indonesia
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mulai mengambil langkah untuk mengatur hak ayah dalam mendampingi istri saat melahirkan. Undang-Undang No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menyebutkan bahwa pekerja laki-laki berhak atas cuti selama dua hari, yang bisa diperpanjang hingga tiga hari atau sesuai kesepakatan antara perusahaan dan karyawan. Sayangnya, durasi cuti ini masih tergolong singkat bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah lebih maju dalam hal kebijakan keluarga.
Fakta di Lapangan: Cuti Ayah Masih Belum Jadi Standar
Laporan terbaru dari Jobstreet by SEEK berjudul "Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan 2025" memberikan gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan terhadap 1.273 profesional di bidang sumber daya manusia dan rekrutmen di Indonesia menunjukkan bahwa 43% perusahaan telah memiliki kebijakan cuti ayah, namun hanya 14% di antaranya yang benar-benar menerapkannya atau berencana menerapkannya dalam 12 bulan ke depan.