Ramli menjelaskan bahwa dalam praktik sehari-hari, transfer data pribadi sudah sangat umum dilakukan. Misalnya, ketika seseorang melakukan penerbangan dari Jakarta ke New York, data pribadi pelancong akan diproses dan dibagikan ke berbagai sistem lintas negara. Hal yang sama juga terjadi ketika masyarakat menggunakan layanan digital global seperti email, media sosial, aplikasi konferensi video, atau navigasi digital. Setiap kali data dikirim dan diproses oleh server yang berada di luar negeri, di situlah terjadi proses transfer data pribadi lintas yurisdiksi.
“Jumlah pengguna internet di Indonesia kini telah mencapai lebih dari 221 juta orang, dan sebagian besar dari mereka secara sadar maupun tidak sadar telah berbagi data pribadinya dengan platform digital global,” jelas Ramli.
Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa transfer data pribadi bukanlah hal yang bisa dihindari di tengah pesatnya pertumbuhan layanan digital. Yang terpenting, menurutnya, adalah bagaimana pemerintah Indonesia dapat melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara tegas terhadap praktik transfer data, agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip akuntabilitas dan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Kesepakatan antara RI dan AS ini harus dibarengi dengan langkah konkret, yaitu memastikan bahwa transfer data pribadi dilakukan secara sah, terpantau, dan patuh terhadap UU PDP,” tegasnya.