Menurut Hartono, apakah lokasi tersebut termasuk area yang dilarang menaikkan layang-layang berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2000 tentang Larangan Menaikkan Layang-layang dan Permainan Sejenis di Bandara Ngurah Rai masih perlu dikaji lebih lanjut. "Kalau dilihat dari dua aturan yang terkena, dari Perda Bali Nomor 9, Tahun 2000 bahwa itu radiusnya antara 9-18 ribu meter. Itu memang seharusnya maksimum layang-layang, di situ hanya 100 meter atau 300 kaki. Berdasarkan Undang-undang penerbangan, Nomor 1 itu masih masuk ke radius horizontal luar KKOP dan itu sejauh 15 kilo meter dan itu memang masih masuk ke area tersebut," paparnya.
Sementara, berdasarkan Perda Nomor 9, Tahun 2000 tentang menaikkan layang-layang, terdapat sanksi pidana jika terdapat pelanggaran. "Di Perda ada. Kalau melihat Undang-undang Penerbangan juga ada sanksi pidana dan denda uang. Kalau Perda nomor 9 tahun 2000 itu kurungan 3 bulan atau denda Rp 5 juta. Kalau Undang-undang Penerbangan maksimal 3 tahun atau denda uang Rp 1 miliar," ungkapnya.
Terhadap indikasi kelalaian pilot, pihaknya akan menyerahkan hal tersebut kepada tim investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). "Saya tidak bisa bilang ini ada kelalaian atau tidak. Itu nanti tim investigasi lebih lanjut dari KNKT, tapi intinya tinggal kita lihat dari helikopter sudah minta terbang di ketinggian 1000 kaki berdasarkan permohonan ke AirNav Indonesia. Sementara layang-layang diperbolehkan pada ketinggian ketentuan tertentu dimainkan," jelasnya.
Hartono juga menjelaskan bahwa helikopter tersebut telah beroperasi di Bali selama setahun terakhir sejak pembuatannya pada tahun 2018. Adapun rute helikopter tersebut adalah dari Garuda Wisnu Kencana (GWK) ke kawasan Uluwatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. "Sudah sering, artinya dia sudah terbang selama setahun di sini kan operasinya banyak. Rutenya ke Uluwatu," ujarnya.