Selain itu, rantai pasok yang panjang dan didominasi oleh tengkulak atau pedagang perantara juga merugikan petani. Mereka seringkali menjual hasil panen dengan harga sangat rendah di tingkat petani, namun menjualnya ke konsumen dengan harga yang berkali-kali lipat lebih tinggi. Petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena keterbatasan akses informasi pasar, modal untuk menyimpan hasil panen, atau fasilitas pasca-panen yang memadai. Kurangnya akses langsung ke pasar atau konsumen membuat mereka bergantung pada perantara, yang otomatis memangkas margin keuntungan secara signifikan.
Keterbatasan Akses Modal dan Teknologi
Akses terhadap modal perbankan atau pinjaman dengan bunga rendah masih menjadi kendala besar bagi petani kecil. Bank seringkali mensyaratkan jaminan yang sulit dipenuhi oleh petani yang hanya punya lahan sempit atau bahkan tidak punya lahan. Akibatnya, mereka terpaksa meminjam dari rentenir atau sumber informal dengan bunga mencekik, yang justru semakin menjerat mereka dalam lilitan utang.
Selain modal, keterbatasan akses terhadap teknologi dan informasi pertanian modern juga menghambat peningkatan produktivitas. Banyak petani masih belum familiar dengan teknik budidaya yang lebih efisien, varietas unggul tahan hama, atau penggunaan pupuk dan pestisida yang tepat. Kurangnya penyuluhan pertanian yang efektif dan fasilitas riset yang menjangkau langsung petani di pelosok juga menjadi persoalan. Tanpa inovasi dan teknologi, produktivitas pertanian sulit meningkat, dan kualitas produk pun tidak bisa bersaing di pasar yang semakin kompetitif.
Infrastruktur dan Manajemen Air yang Belum Optimal
Infrastruktur pertanian, terutama irigasi dan jalan usaha tani, di banyak daerah masih jauh dari kata optimal. Sistem irigasi yang rusak atau tidak memadai membuat petani sangat bergantung pada curah hujan, sehingga rentan terhadap kekeringan atau kelebihan air. Akses jalan yang buruk dari lahan ke pasar juga menambah biaya transportasi dan seringkali membuat hasil panen rusak di jalan, mengurangi nilai jual.