Sri Sultan juga menyoroti bahwa nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh Diponegoro masih sangat relevan dengan zaman sekarang, terutama bagi para pemimpin. Ia menyebut bahwa seorang pemimpin harus mampu mengendalikan hawa nafsu, hidup sederhana, bersikap sabar, dan penuh kehati-hatian dalam bertindak, sebagaimana ajaran para leluhur.
"Pemimpin sejati tidak mengejar kemewahan, melainkan kejernihan batin dan kesungguhan dalam melayani rakyat," tambahnya.
Tak hanya aspek kepemimpinan, Perang Diponegoro juga memperlihatkan bagaimana kekuatan spiritual dan nilai religius mampu menjadi fondasi dalam melawan dominasi asing. Ini memperkuat kesadaran bahwa kekuatan lokal yang berakar dari budaya dan keimanan bisa menjadi senjata ampuh dalam mempertahankan jati diri bangsa.
Yogyakarta sendiri, lanjut Sri Sultan, telah berperan besar dalam melestarikan semangat tersebut dengan terus menjaga tradisi keraton, sastra klasik, dan upacara adat yang menjadi bagian penting dari kebudayaan Jawa. Ia meyakini bahwa sama seperti perang-perang besar lain di dunia yang meninggalkan jejak memori sosial, Perang Diponegoro pun turut membentuk cara pandang bangsa Indonesia terhadap makna kemerdekaan, persatuan, dan pengorbanan.