Dalam kasus dugaan pencabulan tersebut, RK dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan seorang anggota DPRD, yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat. Tindakan pencabulan terhadap anak di bawah umur sangat merugikan korban secara fisik, emosional, dan psikologis. Kehadiran RK sebagai seorang pejabat publik diharapkan mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk melindungi dan mengayomi anak-anak, namun tindakan yang dilaporkan menunjukkan sebaliknya.
Data menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 14.957 kasus kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2020, dengan 13.297 korban perempuan dan 1.660 korban laki-laki. Angka tersebut mencakup berbagai jenis kekerasan seksual, termasuk pencabulan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual.
Pencabulan terhadap anak menimbulkan dampak yang sangat serius bagi korban, baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini dapat mengganggu perkembangan sosial, emosional, dan psikologis anak, serta memengaruhi kepercayaan diri dan kehidupan sosial mereka di masa depan.
Ketika seorang anggota DPRD terlibat dalam kasus pencabulan, hal ini memberikan dampak yang lebih luas, tidak hanya terhadap korban, tetapi juga terhadap citra lembaga legislatif di mata masyarakat. Kepercayaan rakyat terhadap wakil-wakilnya yang seharusnya menjadi pemandu dan pembela kepentingan masyarakat dapat tergoncang akibat perilaku yang melanggar hukum dan etika. Keberadaan RK sebagai tersangka dalam kasus pencabulan juga membawa peringatan bagi anggota legislatif lainnya untuk lebih memperhatikan etika, moralitas, dan perilaku pribadi mereka.