Tampang

Harga Gabah Tunggal dan Tantangan Regulasi Pangan yang Berkepanjangan

13 Mei 2025 21:47 wib. 19
0 0
Harga Gabah Tunggal dan Tantangan Regulasi Pangan yang Berkepanjangan

Namun, dalam tanggapannya, pemerintah segera bertindak cepat dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14/2025. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah mencabut Lampiran I huruf A dan Lampiran II versi sebelumnya, serta menetapkan kebijakan “satu harga gabah” Rp6.500 per kilogram tanpa memandang kadar air atau kadar hampa. Ini tentu saja memberikan kepastian harga bagi petani saat panen berlangsung, mereka tidak lagi dibebani risiko penurunan harga karena syarat-syarat teknis yang kadang kali di luar kendali mereka.

Meskipun demikian, di balik keputusan ini tersimpan pelajaran yang sangat berharga. Bagaimana mungkin Perkabadan Nomor 2/2025 dapat dihasilkan tanpa antisipasi yang memadai terhadap reaksi publik dan kondisi di lapangan? Bukankah regulasi yang strategis seharusnya diawali dengan naskah akademik yang mendalam, simulasi kebijakan, serta konsultasi dengan para pemangku kepentingan, khususnya petani? Jika prosesnya hanya didasarkan pada data yang cenderung kaku dan asumsi teknis tanpa melibatkan suara masyarakat yang paling terpengaruh, kemungkinan besar regulasi tersebut akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.

Pada titik ini, kita harus mengingat pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa hukum yang adil bukanlah hukum yang kaku; hukum harus sesuai dengan konteks yang ada dan menjamin keadilan substantif. Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya, The Social Contract, juga menegaskan bahwa hukum harus berasal dari kehendak umum (general will), bukan hanya dari kepentingan elit teknokrasi.

Regulasi pangan semestinya mengedepankan perlindungan, keadilan distributif, dan keberpihakan kepada kelompok yang lebih rentan, bukan justru menambah beban bagi mereka. Kemampuan pemerintah untuk mengenali dan membatalkan aturan yang dapat merugikan petani adalah langkah yang harus diapresiasi. Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa proses perumusan kebijakan harus lebih transparan, partisipatif, dan didasarkan pada bukti yang valid.

Tidak cukup hanya mengandalkan tim internal atau data statistik. Dialog sosial yang melibatkan petani, asosiasi, akademisi, hingga masyarakat sipil yang menjadi jembatan aspirasional harus ditingkatkan. Di sisi lain, kebijakan satu harga gabah ini perlu dijaga konsistensinya agar tidak menjadi sekadar langkah sementara menjelang panen yang segera dilupakan saat musim tanam baru tiba.

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Dampak PPN 12% ke Rakyat, Positif atau Negatif?