Namun, sebaliknya, pendapatan tinggi juga memungkinkan seseorang untuk hidup lebih sehat dan menempuh pendidikan lebih baik. Mereka mampu membeli makanan bergizi, membayar layanan kesehatan berkualitas, dan menyekolahkan anak di institusi yang unggul. Ini menciptakan lingkaran penguatan positif—namun juga bisa menjadi lingkaran setan kemiskinan bagi mereka yang berada di bawah.
Model Ekonomi Kesehatan Grossman bahkan menempatkan kesehatan sebagai modal ekonomi yang perlu diinvestasikan. Tetapi, bagaimana seseorang dapat berinvestasi pada kesehatan jika penghasilannya tak mencukupi untuk kebutuhan dasar?
“Pasti” yang Terlalu Menyederhanakan
Kata “pasti” dalam pernyataan Menkes menjadi titik rawan dalam diskursus ini. Sebab kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa hanya 37,9 persen ibu dari kelompok ekonomi termiskin yang melahirkan di fasilitas kesehatan—jauh dibandingkan 80 persen pada kelompok terkaya. Begitu pula dengan prevalensi stunting balita, yang jauh lebih tinggi di keluarga miskin (43,1 persen) dibandingkan yang kaya (24,1 persen).
Kesenjangan pendidikan juga mencolok. Data Susenas 2021 menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk usia 16–18 tahun di kelompok termiskin hanya 36,42 persen, jauh tertinggal dari kelompok terkaya yang mencapai 64,15 persen. Artinya, anak dari keluarga tidak mampu secara struktural menghadapi tantangan berat untuk mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi—yang kemudian berdampak pada peluang ekonomi mereka.