FNKSDA juga mengungkapkan bahwa korban dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan bukanlah golongan elit PBNU, melainkan masyarakat di wilayah pertambangan yang mayoritasnya adalah warga Nahdliyin. Mereka mencontohkan peristiwa di Tumpang Pitu, Kendeng, Wadas, dan Trenggalek sebagai contoh nyata dari dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat setempat akibat kegiatan tambang tanpa pengawasan yang memadai. Mereka menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah tersebut justru harus menghadapi dampak destruktif dari industri pertambangan tanpa dukungan dari PBNU, organisasi keagamaan yang selama ini mereka banggakan dan harapkan bisa mendukung serta memperjuangkan kepentingan mereka.
FNKSDA juga menyoroti bahwa sebagian besar elemen masyarakat yang berperan dalam membesarkan NU sebagai sebuah gerakan kolektif adalah para kiai dan ustaz di desa, ibu nyai yang mengelola majelis taklim, guru madrasah, imam masjid, serta seluruh anggota Nahdliyin di tingkat dasar yang bahkan menjadi korban dari kegiatan tambang. Mereka menegaskan bahwa mayoritas dari mereka adalah petani dan pekerja.