Di tengah hiruk pikuk kota, Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada Sabtu sore berubah menjadi ruang hening yang sarat makna. Festival Bedhayan 2025 kembali menghadirkan seni tari klasik Jawa yang penuh filosofi dan nuansa spiritual, kali ini dengan tema “Panca Utsava Bedhayan”. Bukan sekadar pertunjukan, festival ini menjadi ajang bagi para penari, seniman, dan penikmat budaya untuk bersama-sama merenungkan harmoni hidup melalui gerak tari yang anggun dan meditatif.
Penasihat Festival Bedhayan dari Swargaloka, Suryandoro, menjelaskan bahwa Bedhayan memiliki karakter yang membedakannya dari tari Jawa lainnya. “Bedhayan itu meditatif. Kalau tari Jawa lain kepentingannya untuk hiburan atau penyambutan. Tarian ini, kalau dirasakan dengan baik, membuat kita seolah-olah menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya. Ia menekankan bahwa festival ini juga menjadi upaya menciptakan keseimbangan, baik bagi bangsa maupun budaya, di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.
Ketua panitia Festival Bedhayan 2025, Alyawati Sarwono, mengungkapkan bahwa acara ini lahir dari kekhawatiran akan semakin terbatasnya ruang bagi Bedhayan untuk berkembang. “Bedhayan itu sangat tersegmentasi dan penggemarnya terbatas. Kalau kami tidak mengadakan kegiatan seperti ini, saya khawatir akan punah. Festival ini hadir untuk mewadahi sanggar-sanggar dan para penari, terutama generasi muda,” tuturnya.