Pernyataan Menbud RI ini mendapat resonansi dari koleganya, Menteri Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Republik Korea Selatan Chae Hwi-young. Ia menyampaikan bahwa agar nilai ekonomi industri budaya bisa benar-benar dioptimalkan, diperlukan ruang dialog formal di bawah kerangka APEC. Hal ini sekaligus membuka peluang bagi kolaborasi yang lebih terstruktur antarnegara anggota untuk membangun ekosistem budaya yang saling menguatkan.
Tidak hanya menyoroti kekuatan budaya dari sisi tradisional, Fadli juga menekankan pentingnya transformasi digital dan teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai penggerak baru industri kreatif. Menurutnya, Indonesia kini menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan pertumbuhan yang mencengangkan sebesar 414 persen dalam kurun waktu 2017–2021, dan diproyeksikan akan mencapai 130 miliar dolar AS pada akhir 2025. Namun, ia juga mengingatkan agar transformasi digital ini tidak luput dari perhatian terhadap kesenjangan digital dan risiko etis AI. Menbud menyoroti potensi bahaya dari bias algoritmik, eksklusi bahasa, hingga penyalahgunaan data budaya yang dapat merugikan warisan bangsa.
Pada sesi akhir dialog, Fadli Zon menutup paparannya dengan menegaskan bahwa budaya memiliki kekuatan untuk menyatukan bangsa-bangsa di dunia. Ia menyebut budaya sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan perbedaan, tetapi juga memperkuat harmoni di tingkat regional maupun global. Diplomasi budaya menurutnya adalah instrumen yang efektif untuk membangun kepercayaan antarbangsa, sekaligus memperkokoh jejaring sosial yang menjadi fondasi perdamaian dunia.