“Setelah itu, saya bertanya kepada Aep lagi, ‘Mau ngapain kita di sini? Saya tidak tahu peristiwa itu.’ Dia bilang itu. Saya bertanya juga kepada Pak Rudiana, ‘Mau ngapain buat keterangan apa? Saksi buat anak saya yang meninggal.’ Belum tahu (Iptu Rudiana), saya baru tahu pas masuk Polres. Ketika saya masuk, saya bertanya kepada Aep, ‘Mau ngapain ke sini? Saya mau jadi saksi anaknya Pak Rudiana yang meninggal.’ Saya tahu Rudiana pun di situ, jadi saksi,” jelas Dede.
Dari situ, Dede diminta untuk membuat keterangan bahwa dia melihat segerombolan motor yang melempar bambu dan batu serta melakukan pengejaran.
“Dari situ, saya diberitahu saya nongkrong di warung. Kalau itu benar, saya nongkrong beli rokok. Tapi kalau ada pelemparan batu dan bambu serta pengejaran segerombolan motor, sebenarnya itu tidak ada,” ungkapnya.
Ketika berada di Polres, diketahui bahwa Iptu Rudiana mengenakan baju biasa.
“Iptu Rudiana mengenakan baju biasa. Dia dikenalkan oleh Aep, ‘Ini Pak Rudiana.’ Saya diberitahu bahwa dia polisi. Saya sudah tahu intel narkoba,” tambah Dede.
Dari pengakuan yang diberikan oleh Dede, terlihat bahwa dia merasa terpaksa untuk memberikan keterangan palsu dalam kasus kematian Vina dan Eky, karena terdapat tekanan dan ancaman yang berasal dari Iptu Rudiana. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari pihak yang berwenang pada saksi, yang pada akhirnya mempengaruhi jalannya proses hukum dan keadilan.
Sungguh ironis apabila dalam penegakan hukum, orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung dan penegak keadilan justru terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum. Pengakuan Dede ini juga memberikan pelajaran bahwa kekuasaan dan kedudukan seseorang dalam institusi kepolisian tidak seharusnya digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi proses peradilan.