Angka ini mencerminkan adanya ketimpangan antara kebijakan di atas kertas dan realisasi di lapangan. Banyak perusahaan sudah menyadari pentingnya cuti ayah, tetapi belum memiliki keberanian atau komitmen penuh untuk mengeksekusinya. Ini bisa disebabkan oleh kekhawatiran akan produktivitas yang menurun atau anggapan bahwa peran mengasuh anak sepenuhnya adalah tanggung jawab ibu.
Cuti Ayah: Lebih dari Sekadar Fasilitas Tambahan
Paternity leave bukanlah sekadar bonus atau tunjangan, melainkan bentuk nyata dukungan perusahaan terhadap keseimbangan peran dalam keluarga modern. Dengan memberi waktu bagi ayah untuk hadir di awal kehidupan anaknya, perusahaan tidak hanya mendukung kesehatan mental ibu, tapi juga membangun fondasi keterlibatan ayah yang lebih kuat dalam pengasuhan jangka panjang.
Berikut beberapa langkah strategis yang bisa diterapkan perusahaan untuk membangun budaya kerja yang inklusif dan ramah keluarga:
1. Buat Kebijakan yang Terstruktur dan Jelas
Perusahaan perlu menyusun dokumen resmi mengenai paternity leave, termasuk durasi cuti (idealnya 2 hingga 8 minggu), prosedur pengajuan, kriteria kelayakan, serta apakah cuti tersebut dibayar atau tidak. Transparansi ini penting agar karyawan tidak merasa ragu atau bingung saat ingin memanfaatkan hak tersebut.
2. Lakukan Sosialisasi dan Hapus Stigma
Salah satu hambatan terbesar dalam penggunaan cuti ayah adalah rasa takut akan dampak terhadap karier. Banyak pria enggan mengambil cuti karena khawatir dianggap tidak serius dalam pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi HR dan manajemen untuk aktif menyosialisasikan pentingnya cuti ayah dan menciptakan lingkungan yang mendukung keputusan tersebut.
3. Rancang Sistem Transisi Kerja
Agar produktivitas tetap terjaga, perusahaan bisa merancang rencana kerja sebelum dan sesudah masa cuti. Komunikasi antara atasan, HR, dan karyawan menjadi kunci agar proses transisi berjalan lancar dan tidak menimbulkan gangguan dalam operasional tim.