Michael Henry Yusingco, peneliti senior di Sekolah Pemerintahan Ateneo, menilai keputusan Marcos lebih bersifat emosional daripada strategis. Ia menyebut pengunduran massal kabinet ini sebagai respons atas kekalahan telak partainya, Alyansa para sa Bagong Pilipinas (Aliansi untuk Filipina Baru). “Ini lebih pada pemulihan citra ketimbang evaluasi kinerja individual. Pertanyaannya, kenapa tidak dilakukan sebelum pemilu?” kata Yusingco.
Dalam sebuah wawancara podcast pascapemilu, Marcos secara terbuka mengakui bahwa pemerintahannya gagal memberikan perhatian pada isu-isu kecil yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Ia mengakui bahwa banyak proyek berjalan lambat dan belum memberikan manfaat nyata bagi rakyat. “Kami terlalu fokus pada program-program besar, padahal masyarakat butuh bantuan cepat dan konkret dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Langkah Marcos ini bukan yang pertama dalam sejarah politik Filipina. Sebelumnya, pada 2005, Presiden Gloria Macapagal Arroyo melakukan langkah serupa di tengah tekanan skandal pemilu, dan pada 1987 Presiden Corazon Aquino juga menghadapi pengunduran diri massal kabinet usai upaya kudeta.