Siapa pun tahu, tak punya KTP, atau kalaupun punya KTP dengan kolom agama yang kosong, ibarat bom waktu. Buntut ”ledakannya” bisa panjang: kehilangan pekerjaan, pernikahan tak diakui, anak tak dapat akta kelahiran, atau bahkan tidak bisa dikuburkan ketika meninggal.
Carlim masih ingat betul ketika pamannya yang juga penganut Sapta Darma tak bisa dikuburkan di pemakaman desa karena kolom agamanya hanya berisi setrip. Akhirnya jenazah paman pria asal Brebes, Jawa Tengah, itu pun dimakamkan di belakang rumah. ”Kalau hubungan sosial baik. Cuma, untuk pemakaman tidak boleh oleh masyarakat.”
Pengalaman Mulo Sitorus tak kalah pahit. Gara-gara kolom agama di KTP kosong, penganut Ugamo Malim itu tidak bisa mengurus buku atau akta nikah ketika mempersunting Domika Manik pada 2 Januari 1996. Karena tidak memegang akta nikah, buntutnya panjang. Akta kelahiran untuk ketiga anaknya tidak keluar.
Tanpa akta, bisa dipastikan ketiga buah hatinya tak bisa mendapatkan sekolah. Akhirnya dengan terpaksa Mulo nembak akta kelahiran untuk tiga anaknya itu. ”Saya bikin di Jakarta Timur,” ucapnya.
Itu pun pengalaman tak mengenakkan belum berakhir. Ingrit Pinandang Sitorus, anak sulung Mulo, pernah diinterogasi seorang guru terkait kepercayaan yang dia anut. Ketika itu dara 21 tahun tersebut masih duduk di kelas VIII SMP. Dia dicecar soal agama saat akan mengikuti ujian. Sebab, si guru penasaran karena Ingrit tidak ikut membaca Alkitab seperti para siswa Kristen lainnya.
Kepada si guru, Ingrit lantas menjelaskan bahwa dirinya seorang Parmalim. ”Pak guru itu lantas bilang ke saya, ’Oh, jadi kamu itu menyembah pohon dan beribadahnya di gua?’” kenangnya.