Menariknya, penurunan penjualan Coca-Cola di Denmark juga tidak terlepas dari tren global. Sebelumnya, pada tahun lalu, penjualan perusahaan itu di negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim, seperti Pakistan dan Mesir, juga mengalami kemerosotan. Para konsumen beralih ke merek lokal sebagai wujud ketidakpuasan terhadap dukungan AS bagi Israel dalam konflik yang berkepanjangan di Palestina.
Tak hanya di Denmark dan negara-negara mayoritas Muslim, Coca-Cola juga merasakan dampak negatif dari boikot komunitas Hispanik di AS dan Meksiko. Sebuah video yang beredar dan mengklaim bahwa perusahaan tersebut memberhentikan staf Latinnya serta melaporkan mereka kepada pihak imigrasi membuat banyak konsumen bereaksi. Coca-Cola cepat merespons dengan menyatakan bahwa video tersebut adalah informasi yang tidak benar.
James Quincey, CEO Coca-Cola, mengungkapkan bahwa perusahaan saat ini tengah berfokus untuk pulih dari dampak boikot, khususnya yang terasa di wilayah selatan AS, di mana basis konsumen Hispaniknya cukup kuat. Namun, dalam pertemuan dengan para analis, Coca-Cola tidak menyentuh isu boikot di Denmark meskipun mengindikasikan adanya sentimen konsumen yang negatif di Eropa secara umum.
Aarup-Andersen menegaskan bahwa meskipun Coca-Cola dan Pepsi, yang juga diproduksi oleh Carlsberg, dijual di Denmark, kedua merek tersebut dikemas dan diproduksi di pabrik bir yang dikelola oleh pekerja dari Denmark. "Dari sudut pandang kami, ini adalah merek Denmark," ujarnya, menekankan bahwa Carlsberg tidak mendukung atau menentang protes tersebut dan menghormati pilihan yang diambil oleh konsumen.