Hakim Amerika Serikat (AS) pada Senin, (25/11/2024) membatalkan kasus pidana federal yang menuduh Presiden terpilih Donald Trump berupaya membatalkan kekalahannya dalam pemilihan umum 2020. Keputusan ini diambil setelah jaksa bergerak untuk membatalkan tuntutan tersebut dan kasus kedua terhadap presiden terpilih tersebut, dengan mengutip kebijakan Departemen Kehakiman yang melarang penuntutan terhadap presiden yang sedang menjabat.
Perintah dari Hakim Distrik AS Tanya Chutkan mengakhiri upaya federal untuk meminta pertanggung jawaban pidana Trump atas upayanya untuk mempertahankan kekuasaan setelah kalah dalam pemilihan umum 2020, yang berpuncak pada serangan pada 6 Januari 2021 di Gedung Capitol AS oleh para pendukungnya.
Penasihat Khusus Jack Smith, yang merupakan jaksa penuntut utama, yang mengawasi kedua kasus tersebut, mengajukan mosi untuk membatalkan kasus pemilu tersebut dan mengakhiri upayanya untuk menghidupkan kembali kasus terpisah, yang menuduh Trump secara ilegal menyimpan dokumen rahasia saat ia meninggalkan jabatannya pada 2021.
Keputusan ini tentu saja memunculkan beragam reaksi dari masyarakat. Bagi pendukung Trump, keputusan Hakim Chutkan ini dianggap sebagai kemenangan besar bagi keadilan. Namun, bagi pihak yang mengkritik Trump, keputusan ini mungkin dianggap sebagai bentuk penghindaran pertanggungjawaban atas tindakannya selama masa jabatannya.
Apa yang menarik perhatian dari keputusan ini adalah pengaruh Departemen Kehakiman dalam proses hukum terhadap presiden yang sedang menjabat. Kebijakan Departemen Kehakiman yang dikutip oleh para jaksa penuntut ini berasal dari tahun 1970-an, yang menyatakan bahwa penuntutan pidana terhadap presiden yang sedang menjabat akan melanggar Konstitusi AS dengan melemahkan kemampuan kepala eksekutif negara untuk menjalankan tugasnya. Sehingga, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana lembaga hukum harus bertindak dalam upaya menegakkan keadilan tanpa melanggar prinsip-prinsip konstitusional.