Di luar perkara dana, beberapa kalangan juga mempertanyakan 'pengorbanan' demi keberadaan bangunan baru. DDP dibangur dengan menggusur sebuah stadion berusia 80 tahun. Hingga 1980-an, stadion itu merupakan stadion modern pertama dan satu-satunya di Korea, tempat berlangsungnya liga bisbol dan sepak bola profesional di 'Negeri Ginseng'.
Kim Eun-sik, 40, penulis yang kerap berolahraga di stadion tua itu saat remaja, mengaku sedih. "DDP merupakan karya arsitektur yang menakjubkan, tapi saya merasa hampa karena ia menggantikan suatu tempat yang penuh kenangan," kata dia.
DDP juga menggusur sekitar 900 pedagang yang kemudian direlokasi. Penulis buku Korea: The Impossible Country, Daniel Tudor, ikut menyindir. Pemilihan Hadid sebagai arsitek DDP itu seperti memiliki tas Hermes yang dipandang sebagai simbol status di Korea Selatan. "Orang berpikir, jika kita punya bangunan-bangunan keren yang mengilat, kita bisa pamer kepada orang luar bahwa kita telah menjadi negara maju," kata Tudor.