Tidak hanya mahasiswa, tapi juga mahasiswi angkat suara tentang kesulitan yang dihadapi akibat kebijakan kuota ini. Halimatus Sadia mengungkapkan ketidakpuasannya, "Siswa yang cerdas tidak lagi mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan karena sistem kuota ini. Anda bekerja keras hanya untuk mengetahui bahwa lapangan kerja yang tersedia hanya terbatas."
Pada sisi lain, ada pihak yang mendukung kebijakan kuota ini, menyebut bahwa hal ini memberikan keuntungan bagi anak-anak dari kelompok pro-pemerintah yang mendukung Perdana Menteri Sheikh Hasina. Namun, pandangan ini bertentangan dengan aspirasi mahasiswa dan mahasiswi yang merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut.
Dalam konteks politik, kebijakan kuota juga menimbulkan pertentangan terkait dukungan kepada pemerintah. Sheikh Mujibur Rahman, pemimpin pendiri Bangladesh dan ayah dari Perdana Menteri Sheikh Hasina, menjadi fokus dalam diskusi terkait pemberlakuan kuota ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kuota tidak hanya menciptakan ketegangan di kalangan mahasiswa, tetapi juga menjadi perdebatan politik yang kompleks.
Reaksi dari Perdana Menteri Sheikh Hasina terhadap protes ini juga menjadi sorotan. Ia menolak pandangan yang menentang kebijakan kuota ini, dan menyatakan bahwa segala hal yang berkaitan dengan pembatalan harus diselesaikan di meja hijau. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah tetap teguh pada kebijakan kuota yang telah diberlakukan.
Pasca demonstrasi ini, Mahkamah Agung Bangladesh memutuskan untuk menangguhkan perintah kuota terbaru selama sebulan. Namun, kelompok mahasiswa terus memblokir jalan raya dan jalur kereta api utama dengan alasan masih belum setuju dengan keputusan ini. Dengan demikian, meskipun terdapat penangguhan sementara, mahasiswa tetap memperlihatkan ketegasan dalam menolak kebijakan kuota tersebut.