Guna memahami lebih dalam tentang fenomena "deepfake" yang marak di China, penting bagi kita untuk memahami apa sebenarnya teknologi "deepfake" ini dan bagaimana hal tersebut bisa berdampak dalam kehidupan sehari-hari. "Deepfake" mengacu pada teknik manipulasi citra dan suara menggunakan teknologi kecerdasan buatan, yang memungkinkan untuk menciptakan atau memodifikasi konten visual dan audio yang tampak sangat nyata.
Teknologi "deepfake" telah mengalami perkembangan pesat dan digunakan dengan berbagai tujuan, mulai dari hiburan, pemalsuan, hingga penipuan. Di China, maraknya bisnis "deepfake" menunjukkan adanya permintaan besar terhadap konten manipulasi seperti ini. Bukan hanya dalam konteks hiburan, tetapi juga dalam konteks politik, bisnis, dan gender.
Dampak dari maraknya bisnis "deepfake" ini sangat signifikan. Selain kasus yang menimpa Olga Loiek, pihak yang kreatif tetapi tidak bertanggung jawab dapat dengan mudah membuat video palsu yang dapat merusak reputasi seseorang atau bahkan menyesatkan masyarakat. Secara lebih luas, hal ini juga dapat berdampak pada kepercayaan dan keamanan di dunia digital.
Dalam konteks politik, "deepfake" mampu menciptakan konten palsu yang memanipulasi opini publik dan mengganggu proses demokrasi. Di sisi lain, dalam konteks bisnis, konten "deepfake" dapat digunakan untuk mempromosikan produk-produk tertentu dengan cara yang tidak etis, merugikan pelaku usaha yang sah.
Selain itu, dalam konteks gender, teknologi "deepfake" sering digunakan untuk membuat konten pornografi yang memanfaatkan wajah dan tubuh perempuan tanpa izin, yang merupakan penyalahgunaan yang sangat merugikan dan dapat memicu kerugian emosional yang sangat serius.