Hingga pertengahan 2024, jumlah satelit aktif di orbit diperkirakan telah melampaui 9.000 unit. Angka ini menunjukkan pertumbuhan yang eksponensial dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan drastis ini sebagian besar didorong oleh:
Megakonstelasi: Proyek-proyek seperti Starlink SpaceX, OneWeb, dan Kuiper Amazon meluncurkan ribuan satelit kecil untuk menyediakan akses internet global. Masing-masing konstelasi ini saja dapat menyumbang ribuan satelit ke total keseluruhan.
Miniaturisasi Teknologi: Kemajuan dalam teknologi memungkinkan pembuatan satelit yang lebih kecil (CubeSats, nanosatelit) dengan biaya yang lebih rendah, membuka pintu bagi lebih banyak negara, universitas, dan bahkan perusahaan swasta kecil untuk meluncurkan satelit.
Aplikasi yang Berkembang: Permintaan akan data dan layanan satelit terus meningkat untuk berbagai keperluan seperti navigasi (GPS), observasi Bumi (pemantauan iklim, pertanian, perkotaan), komunikasi (telepon, internet, TV), dan riset ilmiah.
Amerika Serikat dan Tiongkok adalah pemain terbesar dalam hal jumlah satelit aktif yang diluncurkan, diikuti oleh negara-negara Eropa, Rusia, dan India.
Satelit Non-Aktif dan Puing-Puing: Ancaman yang Terus Bertambah
Selain satelit aktif, ada ribuan satelit non-aktif atau mati yang masih mengitari Bumi. Satelit-satelit ini tidak lagi berfungsi tetapi tetap menjadi bagian dari "populasi" orbit. Keberadaan mereka, bersama dengan jutaan puing-puing antariksa yang lebih kecil (sebagian besar tidak dapat dilacak tetapi cukup berbahaya), menimbulkan masalah serius yang dikenal sebagai sampah antariksa.
Puing-puing ini bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi—puluhan ribu kilometer per jam—dan bahkan sebuah pecahan kecil dapat menyebabkan kerusakan katastropik pada satelit aktif atau bahkan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) jika terjadi tabrakan. Fenomena ini disebut Sindrom Kessler, di mana tabrakan antarpuing menciptakan lebih banyak puing, memicu reaksi berantai yang berpotensi membuat orbit tertentu tidak dapat digunakan.